Bila Suami Takut Istri

By nova.id, Senin, 26 Maret 2012 | 23:27 WIB
Bila Suami Takut Istri (nova.id)

Zaman sekarang, kasus istri takut suami sudah bisa menimbulkan pertanyaan, "Kok bisa sih, hubungan suami istri dijalin dari ketakutan-ketakutan?" Nah, apalagi kalau suami yang takut istri.

Biasanya orang akan langsung memandang keduanya dengan sebelah mata. Malah, bisa-bisa si suami jadi bahan celaan di antara kawan-kawannya. Sampai-sampai, untuk menyebut para suami yang tidak bisa mempertahankan pendapatnya di depan istri, muncul istilah ISTI atau ikatan suami takut istri.

Istilah yang agak berat sebelah ini sebetulnya merupakan pantulan pandangan masyarakat kita, bahwa seyogyanya suami berperan sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Ketika tuntutan itu tidak terpenuhi, reaksi terhadapnya terasa lebih keras ketimbang kalau istri yang takut suami.

Namun, Dra. Clara Istiwidarum Kriswanto, MA., lebih melihat persoalan itu sebagai tidak adanya kesetaraan hubungan antara suami dan istri. Menurutnya, ketakutan suami terhadap istri akan terlihat dari ungkapan-ungkapannya, seperti, "Aku harus menunggu istriku, karena kalau aku yang memutuskan, takut salah." Rasa takut membuat suami tidak berani mengambil keputusan sendiri, enggak punya ide, selalu menunggu istri, takut dimarahi istri, tidak berani mengungkapkan alasan, dan sebagainya.

SUAMI TAKUT ISTRI KARENA...

Kata konselor dari Jagadnita Consulting Service ini, banyak faktor yang bisa membuat suami takut terhadap istri. Beberapa di antaranya adalah:

* Dari segi psikologis, suami punya sikap submisif, yaitu sikap yang sering mengalah, menunggu, tidak punya inisiatif, dan tidak kreatif. Sikap submisif bisa timbul ketika dia menikah dengan wanita yang punya sikap lebih dominan dan otoriter misalnya. Atau, sudah menjadi pembawaan sikap sebelumnya, si suami memang selalu rendah diri, tak berani berpendapat, selalu mengalah, takut salah, dan sebagainya.

* Pola hubungan antara suami dan istri tidak seimbang. Biasanya datang dari faktor sosial, seperti suami merasa rendah diri karena berasal dari keluarga yang jauh lebih miskin, berpendidikan jauh lebih rendah, penghasilan lebih kecil. Bisa juga karena si istri merupakan sosok yang sangat terkenal, sedangkan suami bukan apa-apa. Sikap takut bisa berasal dari si suami yang merasa kalah segala-galanya atau terpengaruh karena istri lebih dominan menguasai rumah tangga. Istri yang merasa lebih segala-galanya dibandingkan si suami, akan merasa lebih berkuasa dan bisa mendikte suaminya. Karena kedua sikap inilah, muncul ketakutan suami, lalu istri merasa lebih berkuasa.

* Ketakutan suami pun bisa muncul karena perbedaan ras dan suku. Misalnya, si suami terbiasa dengan sikap yang santun sejak kecil dan tidak terbiasa dengan kata-kata keras, kasar, menghujat, dan sebagainya. Berbeda dengan istri yang terbiasa hidup di suku dan lingkungan yang keras. Kata-kata yang keluar pun seringkali ketus, kasar, atau menghujat. Ketika si suami bertemu dengan model istri seperti ini, mungkin saja dia akan merasa takut bila berhadapan dengan istrinya. Namun, menurut Clara, faktor ini jarang sekali terjadi, walaupun tetap bisa muncul.

* Saat ini di masyarakat sudah terjadi banyak pergeseran nilai. Bila dahulu hanya suami yang mencari nafkah, kini istri pun sah saja bekerja di luar rumah. Tujuannya agar beban ekonomi keluarga bisa ditanggung berdua, sehingga rasanya jadi lebih ringan. Bila pada kenyataannya istri lebih sukses dalam berkarier, bisa jadi suami merasa rendah diri.

IDEALNYA SUAMI ISTRI ITU...

* Terhindar dari perasaan takut terhadap pasangan.

Sebetulnya, setiap pasangan yang ingin membina keluarga harmonis harus menghindari perasaan takut atau keinginan lebih dominan. Kala hubungan suami istri dipenuhi perasaan takut, tentu hubungan antara suami-istri, bahkan anak, menjadi tidak sehat.

* Memiliki Kerja sama yang baik.

Baik suami dan istri harus bisa memahami berbagai perbedaan, kekurangan atau kelebihan masing-masing pasangan. Dengan begitu akan terjalin hubungan yang sehat. Bila keduanya tidak saling menghargai, maka tidak mungkin terbentuk sebuah keluarga harmonis.

* Tahu apa yang disukai dan tidak.

Baiknya, sejak sebelum atau awal pernikahan, suami dan istri sudah saling berusaha mengetahui, apa yang disukai dan tidak, sikap yang bagaimana yang disukai, gaya bicara seperti apa yang disenangi, dan sebagainya. "Intinya, pasangan paling pengin diapain dan paling tidak pengin diapain," tandas Clara.

  UNTUK MENGATASI SEBAIKNYA...

* Jalin kembali komunikasi dan kerjasama yang baik. "Untuk melakukan komunikasi, pilihlah waktu yang terbaik dimana keduanya sedang dalam kondisi kondusif untuk membicarakan segala permasalahan. Misalnya, kala sedang santai."

* Bila suami yang ingin mengawali pembicaraan terhadap istri yang lebih dominan, suami harus memilih waktu yang tepat, misalnya istri sedang dalam suasana tenang, mood-nya lagi enak, tidak ada beban, tidak letih, dan sebagainya. Jangan malah berkomunikasi ketika istri sedang dalam tensi tinggi. Khawatir hasilnya bukan membaik malah timbul konflik baru yang mungkin bisa membahayakan rumah tangga.

* Sebaliknya, bila istri yang akan memulai komunikasi, istri pun harus memilih waktu yang tepat. Komunikasi yang dilakukan pun bisa diungkap sambil bercanda. Bisa sambil pura-pura menceritakan temannya yang memiliki suami takut istri, kemudian bercerita dampak-dampak yang terjadi setelahnya. Atau, ketika sedang menyaksikan drama di teve, di situ terlihat sikap istri yang cerewet, judes, selalu marah-marah, istri bisa meminta pendapat suami apakah dia juga seperti itu. Kalau ya, apakah harus diperbaiki, dan sebagainya.

SUBMISIF TAK SELALU NEGATIF

Sebenarnya, kata Clara, suami tipe submisif tidak selamanya negatif. Maksudnya, ketika dia menikah dengan wanita bertipe dominan, belum tentu hubungan keduanya menjadi tidak sehat. Seringkali, suami yang submisif butuh pasangan yang dominan dan otoriter. "Ketika keduanya menikah malah menjadi pasangan yang klop."

Dengan kata lain, sikap suami yang selalu menunggu, tidak punya inisiatif, dan takut salah bisa ditutupi dengan sikap istri yang bisa berlaku tegas, mengambil keputusan cepat, selalu berinisiatif, berani, dan sebagainya. Dengan begitu, keduanya akan saling mengisi kekurangan masing-masing.

Tentu saja, sikap submisif ini jangan sampai dibarengi rasa takut. Bila melihat suami submisif, maka istri lebih baik mengambil alih untuk melakukan hal yang terbaik. Jadi, kita pun harus membedakan antara takut dan mengalah. Suami yang suka mengalah bukan karena dia takut, tetapi lebih karena dia ingin menunjukkan sikapnya. "Mungkin, si suami bisa memahami sifat istrinya yang terkadang ingin selalu dipenuhi keinginannya, cerewet, dan kepala batu, misalnya."

Irfan Hasuki