Aku terus berusaha agar Andre bisa bersosialisasi. Dia bisa membantu dirinya sendiri saja, buatku sudah luar biasa. Aku, kan, tak mungkin menemaninya setiap waktu. Suatu hari nanti, dia harus hidup sendiri. Dokter menyarankan Andre masuk sekolah normal agar bias belajar berkomunikasi. Kuturuti saran itu. Hasilnya? Pada hari keempat dia sekolah, aku dipanggil kepala sekolah. Katanya, Andre mengganggu aktivitas belajar-mengajar. Para orangtua murid protes. Andre juga tak lagi diterima di sekolah mulai hari itu.
Aku syok. Sampai di rumah, aku masuk kamar mandi. Di dalam kamar, lalu berteriak sepuasnya. Duniaku runtuh. Cobaan apa lagi ini, Tuhan? Baru masuk TK saja sudah diusir, bagaimana kelak? Setelah puas menangis, aku berpikir, Tuhan adalah arsitek agung. Karya-Nya tak pernah salah. Ketika menciptakan anak autis, Dia tak akan lupa menitipkan kelebihan pada anak itu.
Aku sangat percaya, karya-Nya ini luar biasa dan bukan produk gagal. Kalau berhenti mengeluh, pasti aku bisa melihat kelebihan anakku. Sekarang masih tertutup karena aku bersungut setiap hari, begitu pikirku. Sejak itu aku berhenti mengeluh. Kucetak semua informasi tentang autisme dan kubawa ke banyak sekolah normal. Kuceritakan kondisi Andre. Hampir semua menolak. Aku tak berkecil hati. Satu-satunya yang menerima Andre adalah TK yang tak jauh dari rumah, yang pemiliknya orang India.
Masalahnya, bahasa yang digunakan di sana 100 persen Bahasa Inggris. Padahal, Bahasa Indonesia saja Andre tak bisa. Dokter Andre yang lantas kudatangi menyarankan untuk pasrah, tak perlu ikut-ikutan menyekolahkannya di sekolah internasional. Alasannya, percuma saja dan malah membuat Andre bingung. Benar juga. Namun karena di sekolah berbahasa Indonesia sudah tak ada harapan, kuputuskan menyekolahkan Andre di sana.