Rupanya, Hiroshi menuruni bakat alergiku dan suami. Reaksinya antara lain muntah, diare, dan bercak merah di kulit. Tubuh Hiroshi jadi makin kurus. Kembali kubaca buku dan buka internet. Kuputuskan untuk memberinya makan dengan sistem provokasi eliminasi. Misalnya, kuberikan beberapa gram hati sapi yang kucampur pada nasi. Kalau makanan yang kuprovokasi itu menimbulkan alergi, kueliminasi dari daftar menu dan baru kuberikan lagi sebulan kemudian.
Kalau tak bereaksi, menunya kucontreng di buku diari dan kuberikan lagi seminggu kemudian. Ternyata, hampir semua makanan menimbulkan alergi bagi Hiroshi. Semua makanan kuberikan satu per satu. Misalnya, nasi dan brokoli atau nasi dan hati. Untuk menangani kebutuhan Hiroshi ini, aku punya buku diari setebal Alkitab. Tiap hari kucatat di situ menu apa saja yang kuberikan, jumlah pemberian, tanggal, reaksi, dan kapan boleh diberikan lagi. Aku juga beli timbangan yang ukurannya sampai miligram.
Provokasi eliminasi ini amat membantu. Saat eliminasi, tubuhnya membentuk imunitas. Ketika menu itu diberikan lagi sebulan kemudian, tubuh Hiroshi mulai mengenali sehingga tak terlalu menolak. Porsi juga tetap agar tubuhnya tak kaget. Setelah itu, pemberian menu itu kuperpendek rentang waktunya jadi seminggu sekali. Begitu terus sampai akhirnya sekitar sembilan bulan kemudian, semua makanan yang kuberikan pada Hiroshi tak lagi menimbulkan alergi.
Pelan-pelan tubuhnya mulai berisi. Aku mempelajari provokasi eliminasi ini dari internet. Awalnya, Hiroshi kubawa ke dokter yang menyarankan aku memberi obat. Aku kasihan bayi sekecil itu harus minum obat. Lebih baik cara alami, sederhana saja. Saat diimunisasi, kan, sebetulnya bayi diberi penyakit yang dilemahkan. Nah, makanan juga sama. Kalau diberikan sedikit demi sedikit dalam jangka waktu lama, akhirnya bayi akan kebal.
Kini Hiroshi sudah benar-benar sehat dan normal. Sekarang dia sudah bersekolah di TK. Yang mengharukan, dia tak segan membela kala Andre jadi pusat perhatian orang banyak. Tinggal Andre dan Aurel saja yang masih menjalani terapi. Aurel yang kini kelas 6 SD, kecemasannya sudah sangat jauh berkurang. Kalau dilihat sepintas, keduanya tampak seperti anak normal. Aurel yang sejak kecil kubiasakan kuberi kertas dan buku untuk menuliskan perasaannya, kini tengah bersiap membuat buku. Ya, diarinya yang ia tulis dalam Bahasa Inggris itu diminati sebuah penerbit untuk diterbitkan.
Belajar Kehidupan
Sampai sekarang, aku masih terus berjuang untuk Andre. Belajar berhitung ala Andre yang masih kelas 2 SD harus secara visual. Mengajarinya penambahan atau pengurangan berarti aku harus naik atau turun tangga di rumah. Toilet training juga masih kuperjuangkan, sebab dia masih pup di celana. Padahal baunya minta ampun karena dia, kan, sudah besar. Sampai sekarang, aku masih membeli berlusin-lusin celana.
Kalau aku atau pembantuku tak sanggup mencuci karena baunya, celana itu kubuang. Terpaksa ini kutempuh daripada gonta-ganti pembantu hanya karena mereka tak tahan terus-menerus mencuci celana Andre yang bau. Aku sendiri terus berpikir positif demi anak-anak. Kalau selalu menyesali keadaan, kelak aku akan terlambat menyadari semuanya. Kalau bukan aku yang menolong mereka, lalu siapa?
Andre dan Aurel kuperlakukan berbeda. Pada Aurel yang tak berani ambil keputusan, aku sangat tegas. Mataku langsung menatap matanya, bahasa tubuhku ikut bicara. Kalau tak begini, dia makin "melempem". Kalau menurut, kuberi hadiah, biasanya pelukan dan pujian. Akhirnya dia belajar bersikap dan mandiri. Saat Lebaran, melihatku kerepotan, Aurel memandikan adik-adiknya dan mengepel lantai.
Sebaliknya, aku sangat lembut pada Andre. Kalau aku tegas, dia makin berontak. Kalau dia marah atau mengamuk, biasanya aku melakukan bear hug (pelukan beruang). Kudekap kedua paha dan badannya kuat-kuat. Meski dia berontak, tak kukendurkan pelukan sambil diam saja. Dalam kondisi seperti itu, anak autis tak suka komunikasi verbal. Setelah memberontak, dia membenturkan kepala ke wajahku.
Saat suamiku pulang kantor, tak jarang dia menemukan lebam biru di hidung atau pipiku sebagai akibatnya. Namun, aku memilih lebam. Kalau tidak, Andre akan membenturkan kepala ke tembok atau memukuli dadanya. Bear hug ini membuat dia tenang lagi. Dari ketiga anakku, aku banyak belajar kehidupan. Dari Aurel, aku belajar jadi pribadi yang tegas dan bisa membaca yang tak terucap. Dari Andre, aku belajar sabar dan kuat. Semoga saja kelak ketiga anakku bisa hidup sukses dan mandiri. Amin.
Hasuna Daylailatu