Curahan Hati Valencia Mieke Randa: Karya Tuhan Bukan Produk Gagal (2)

By nova.id, Senin, 16 Januari 2012 | 23:27 WIB
Curahan Hati Valencia Mieke Randa Karya Tuhan Bukan Produk Gagal 2 (nova.id)

Kini Hiroshi sudah benar-benar sehat dan normal. Sekarang dia sudah bersekolah di TK. Yang mengharukan, dia tak segan membela kala Andre jadi pusat perhatian orang banyak. Tinggal Andre dan Aurel saja yang masih menjalani terapi. Aurel yang kini kelas 6 SD, kecemasannya sudah sangat jauh berkurang. Kalau dilihat sepintas, keduanya tampak seperti anak normal. Aurel yang sejak kecil kubiasakan kuberi kertas dan buku untuk menuliskan perasaannya, kini tengah bersiap membuat buku. Ya, diarinya yang ia tulis dalam Bahasa Inggris itu diminati sebuah penerbit untuk diterbitkan.

Belajar Kehidupan

Sampai sekarang, aku masih terus berjuang untuk Andre. Belajar berhitung ala Andre yang masih kelas 2 SD harus secara visual. Mengajarinya penambahan atau pengurangan berarti aku harus naik atau turun tangga di rumah. Toilet training juga masih kuperjuangkan, sebab dia masih pup di celana. Padahal baunya minta ampun karena dia, kan, sudah besar. Sampai sekarang, aku masih membeli berlusin-lusin celana.

Kalau aku atau pembantuku tak sanggup mencuci karena baunya, celana itu kubuang. Terpaksa ini kutempuh daripada gonta-ganti pembantu hanya karena mereka tak tahan terus-menerus mencuci celana Andre yang bau. Aku sendiri terus berpikir positif demi anak-anak. Kalau selalu menyesali keadaan, kelak aku akan terlambat menyadari semuanya. Kalau bukan aku yang menolong mereka, lalu siapa?

Andre dan Aurel kuperlakukan berbeda. Pada Aurel yang tak berani ambil keputusan, aku sangat tegas. Mataku langsung menatap matanya, bahasa tubuhku ikut bicara. Kalau tak begini, dia makin "melempem". Kalau menurut, kuberi hadiah, biasanya pelukan dan pujian. Akhirnya dia belajar bersikap dan mandiri. Saat Lebaran, melihatku kerepotan, Aurel memandikan adik-adiknya dan mengepel lantai.

Sebaliknya, aku sangat lembut pada Andre. Kalau aku tegas, dia makin berontak. Kalau dia marah atau mengamuk, biasanya aku melakukan bear hug (pelukan beruang). Kudekap kedua paha dan badannya kuat-kuat. Meski dia berontak, tak kukendurkan pelukan sambil diam saja. Dalam kondisi seperti itu, anak autis tak suka komunikasi verbal. Setelah memberontak, dia membenturkan kepala ke wajahku.

Saat suamiku pulang kantor, tak jarang dia menemukan lebam biru di hidung atau pipiku sebagai akibatnya. Namun, aku memilih lebam. Kalau tidak, Andre akan membenturkan kepala ke tembok atau memukuli dadanya. Bear hug ini membuat dia tenang lagi. Dari ketiga anakku, aku banyak belajar kehidupan. Dari Aurel, aku belajar jadi pribadi yang tegas dan bisa membaca yang tak terucap. Dari Andre, aku belajar sabar dan kuat. Semoga saja kelak ketiga anakku bisa hidup sukses dan mandiri. Amin.

 Hasuna Daylailatu