Apa bedanya mereka dengan atlet normal?
Berbeda dengan melatih atlet normal atlet spesial ini harus mendapat perhatian lebih. Apalagi saat training centre (TC) persiapan untuk bertanding. Kami harus memperhatikan mereka sejak bangun tidur sampai tidur lagi. Kalau atlet lain mungkin bisa dikasih tahu harus tidur jam berapa dan sebagainya, tapi atlet-atlet ini tidak bisa.
Belum lagi masing-masing atlet punya kebiasaan berbeda saat bersiap tidur. Pernah saya melatih atlet yang kalau tidur harus menyanyi dulu, telepon dengan orangtuanya, dan macam-macam lainnya. Jadi, dibutuhkan formula berbeda antara atlet yang satu dengan yang lain. Ada satu atlet yang kalau tidur harus dipegang kupingnya. Terpaksalah setiap malam saya memegang kupingnya sampai dia tertidur. Ha ha ha.
Kami juga enggak bisa memaksakan atlet-atlet ini. Ada yang kalau dikerasi justru marah sampai mogok berlatih. Di situlah perlunya formula-formula khusus untuk menghadapi mereka, supaya mereka selalu termotivasi dan mau berlatih. Macam-macam karakter mereka. Tapi, justru itu yang membuat saya suka kangen kalau lama enggak melatih atlet-atlet spesial ini.
Pernah punya pengalaman lucu?
Ya. Pernah kejadian, ada atlet yang buang air besarnya berantakan dan enggak bisa cebok. Akhirnya saya yang membersihkan sekaligus mengajarkan agar ke depannya dia bisa mandiri. Ketika pegang atlet dengan low ability, enggak boleh lepas dari pengawasan kita.
Ada cerita saat saya mengikuti Special Olympics di Beijing. Suatu ketika saat jalan-jalan, saya bertanggungjawab atas dua anak low ability. Saat jalan-jalan itu, tiba-tiba perut saya mulas sekali, sehingga harus segera ke toilet. Sayangnya enggak ada orang lain yang bisa menggantikan saya untuk menjaga dua anak ini. Akhirnya terpaksalah saya bawa mereka ke toilet, daripada mereka hilang. He he he.
Bagaimana jika Anda yang tidak mood untuk melatih?
Jika itu terjadi, entah bagaimana. Tapi seringnya, sih, bad mood saya langsung hilang ketika melihat wajah dan tingkah laku mereka. Kalaupun masih tidak mood, saya lebih baik ambil waktu istirahat. Pergi karaoke atau sekadar nyanyi di kamar mandi.
Ada berapa jumlah atlet spesial di Jakarta?
Banyak. Totalnya mungkin sekitar 300-an atlet dari tujuh cabang olahraga yang ikut dalam Special Olympics. Cabang olahraga yang Indonesia ikuti adalah atletik, bulutangkis, renang, tenis meja, sepakbola, bola basket dan boci. Boci adalah olahraga seperti bowling tapi khusus untuk atlet yang low ability. Nomor atletik yang biasa diikuti negara kita adalah nomor lari, lompat dan lempar.
Bagaimana tanggapan orangtua dan suami dengan profesi Anda?
Awalnya mereka sempat meragukan keputusan saya, terlebih ketika memulai profesi ini, kan, saya hanya relawan. Jadi enggak ada pemasukan finansial sampai akhirnya saya menjadi PNS. Ketika November 2008 saya menikah, suami saya juga sempat bertentangan dengan saya. Namun setelah melihat kesungguhan saya, alhamdulillah keluarga merestui dan mendukung langkah saya. Saya bahagia keluarga mendukung saya untuk membuat hidup saya berguna bagi orang lain dan negara.
Bagaimana Anda membagi waktu antara profesi dan keluarga?
Di sinilah pentingnya kerja sama tim antara saya, suami, dan orangtua. Juga keikhlasan dan kepercayaan suami. Saya selalu ada waktu untuk keluarga, kadang kami jalan-jalan atau ajak anak-anak melihat saya melatih.
Apa harapan Anda terhadap atlet-atlet spesial?
Saya berharap akan semakin banyak atlet spesial dan di Olimpiade berikutnya prestasi mereka semakin meningkat. Semoga banyak juga orang yang mau meluangkan waktu dan tenaga menjadi relawan, bergabung bersama kami melatih atlet spesial ini. Apapun latar belakang mereka, enggak harus selalu dari bidang olahraga.
Tidak ingin menjadi atlet lagi?
Enggak, saya sepertinya kurang beruntung menjadi atlet. Terakhir saya menjadi atlet lontar martil dan pernah ikut PON tapi ada di urutan 4 atau 5. Sebelumnya saya pernah juga jadi atlet sprinter dan jalan cepat. Meski begitu, dengan menjadi pelatih saya bisa tetap berada di lapangan. Ternyata Tuhan memberi kesempatan ini agar saya menjadi seperti sekarang ini.
Edwin F. Yusman