Tabloidnova.com - Awalnya tak banyak yang tahu jika anak kedua dari tiga bersaudara kelahiran Jakarta, 15 Juli 1982, ini menjadi bagian dari kesuksesan atlet spesial Indonesia di tingkat dunia. Berjuang tanpa pamrih, nama ibu dua anak ini mulai dikenal seiring prestasi yang ditorehkan atlet-atlet spesial binaanya. Bagaimana ceritanya Anda bisa bergelut dengan dunia anak-anak, khususnya anak-anak atlet spesial?
Latar belakang pendidikan saya adalah olahraga atletik. Tahun 2003, saya mengawali karier menjadi pelatih anak-anak spesial. Saat itu saya masih mahasiswa Jurusan Olahraga di Universitas Negeri Jakarta. Di situ ada mata kuliah Adaktif untuk anak-anak tuna grahita. Kalau lebih luasnya, dalam olahraga paralimpic itu ada anak grahita, tuna netra, tuna rungu, dan lain-lain. Namun saya kemudian lebih mengkhususkan diri untuk melatih anak-anak tuna grahita.
Apa alasannya?
Karena saya melihat anak-anak ini kalau berlatih terlihat sangat bahagia. Kami berlatih setiap Sabtu. Nah, bagi anak-anak ini, hari Sabtu menjadi hari yang ditunggu-tunggu.Soalnya di hari itu mereka bisa berlatih dan bertemu teman-temannya. Mereka betul-betul terlihat lebih segar dan bahagia. Kata orangtua mereka, kalau enggak ada yang mengantar, mereka marah dan sedih.
Dari situ, saya jadi bersemangat melatih mereka. Saya enggak mau mengecewakan mereka. Kebetulan, salah seorang dosen saya menjadi pelatih anak-anak spesial ini. Saya ketika itu masih menjadi atlet, suatu saat saya melihat mereka berlatih. Saya semakin ingin melatih mereka. Mereka juga menjadi sumber semangat saya untuk berlatih menjadi atlet. Mereka saja bersemangat saat berlatih, masak saya tidak?
Apa yang kemudian Anda lakukan?
Seiring berjalannya waktu, saya memang lebih tertarik menjadi pelatih. Saya ingin membantu anak-anak spesial ini untuk berprestasi. Saya kemudian mundur jadi atlet. Awal-awal menjadi pelatih, saya berkesempatan bertemu dengan Bapak Soerjadi Soedirdja, pelindung dan pembina Special Olympics. Dalam sebuah kesempatan, Ibu Soerjadi pernah bilang ke saya, bahwa mungkin melatih mereka adalah kunci surga buat saya. Di situ mata saya makin terbuka.
Anak-anak ini adalah manusia suci, orang lainlah yang mengotori mereka. Saya ingin menjadikan diri saya berguna bagi orang lain. Saya ikhlas membantu mereka, walau ketika itu masih menjadi relawan, tanpa digaji. Ternyata, saya mendapat kesempatan melatih tim atletik anak-anak spesial ini untuk menghadapi Special Olympics tahun 2007 di Beijing, Tiongkok. Saya menganggap itu adalah buah dari keputusan saya, itu adalah hadiah dari apa yang saya lakukan. Tuhan enggak pernah tidur ketika kita sudah ikhlas dalam melakukan sesuatu.
Dari Special Olympics inilah saya kemudian mendapat jalan untuk menjadi PNS di Kemenpora tahun 2008 melalui jalur prestasi. Alhamdulillah, saya lulus dari berbagai tes dan kemudian ditugaskan pada bidang Olahraga Layanan Khusus.
Dengan menekuni profesi ini, saya merasa hidup saya jadi semakin berwarna. Dengan adanya mereka, saya bisa berkarya. Saya bangga anak-anak ini bisa berprestasi di tingkat dunia.
(Anak-anak binaan Marini ini belum lama mengikuti ajang Special Olympics di Los Angeles, Amerika Serikat, dan berhasil pulang membawa 19 medali emas, 12 perak dan 9 perunggu. Khusus atletik, atlet-atlet tersebut menyumbang 1 emas, 2 perak dan 3 perunggu.)
Bagaimana tanggapan Anda melihat prestasi anak-anak ini?
Mereka memang hebat! Pada Olimpiade sebelumnya di Yunani, mereka bisa membawa 15 medali emas. Selain pemerintah, berbagai pihak juga mulai melirik keberadaan atlet-atlet ini. Pada Olimpiade kemarin, mereka yang meraih emas mendapat bonus Rp200 juta. Sampai orangtua mereka juga bingung. Lebih-lebih ada anak yang mendapat 3 medali emas. Bonusnya Rp600 juta!
Meskipun bonus pelatih enggak sampai segitu, alhamdulillah saya masih mendapat bonus. Tapi saya tidak pernah melihat nominalnya. Melihat mereka berprestasi, sehat dan bugar saja sudah membuat saya senang.
Bagaimana persiapan yang dilakukan sebelum mengikuti pertandingan?
Sama seperti atlet lain, kami juga memiliki Training Center. O iya, persiapan untuk Special Olympics di Los Angeles ini dilakukan di bulan Ramadhan, lo. Usai lebaran, kami berangkat.
Apa momen yang paling membanggakan selama menjadi seorang pelatih?
Coba saya tanya, kapan lagu Indonesia Raya dikumandangkan di negara lain? Ada dua penyebabnya, pertama ketika Presiden datang berkunjung ke sebuah negara. Kedua, ketika atlet kita menjadi juara dalam sebuah pertandingan olahraga. Itulah saat dimana saya merasa sangat bangga. Melihat mereka naik ke podium saja cukup membuat saya bahagia.
Alhamdulillah saya juga bisa mengunjungi beberapa negara sejak menjadi pelatih. Ketika mengikuti Olimpiade di Los Angeles, bahkan saya bisa bertemu artis-artis kelas dunia. Soalnya Special Olympics ini dihadiri artis-artis papan atas Hollywood seperti Oscar de la Hoya dan Keanu Reeves. Bahkan, acara itu dibuka Ibu Negara Amerika Serikat, Michelle Obama. Walau enggak bisa salaman, saya bisa melihat mereka dari dekat.
(Sejak menjadi pelatih, Marini menyabet berabagai penghargaan, di antaranya Penghargaan dari Kemenpora sebagai Pelatih Olahraga Prestasi dan salah satu dari 9 Pahlawan Untuk Indonesia dari MNC TV).
Saya enggak pernah terpikir saya bakal mendapat penghargaan. Semua saya lakukan dengan ikhlas. Saya juga enggak tahu dari mana mereka bisa memasukan saya sebagai kandidat. Semua seperti mimpi.
Apa, sih, suka dan duka menjadi pelatih?
Anak-anak ini kadang mood>-nya enggak bisa ditebak. Kalau mereka sedang kesal, enggak jarang saya kena pukul. Susah awalnya untuk membuat mereka kembali mood dan berlatih. Malah saya sudah berapa kali ditampar. Ha ha ha.
Mereka juga kadang suka iseng. Saat pertama kali melatih mereka, celana saya ditarik sampai kedodoran. Tapi, saya enggak menyerah. Saya bersyukur pelatih-pelatih senior membantu saya beradaptasi. Pokoknya butuh kesabaran ekstra, deh.
Apa bedanya mereka dengan atlet normal?
Berbeda dengan melatih atlet normal atlet spesial ini harus mendapat perhatian lebih. Apalagi saat training centre (TC) persiapan untuk bertanding. Kami harus memperhatikan mereka sejak bangun tidur sampai tidur lagi. Kalau atlet lain mungkin bisa dikasih tahu harus tidur jam berapa dan sebagainya, tapi atlet-atlet ini tidak bisa.
Belum lagi masing-masing atlet punya kebiasaan berbeda saat bersiap tidur. Pernah saya melatih atlet yang kalau tidur harus menyanyi dulu, telepon dengan orangtuanya, dan macam-macam lainnya. Jadi, dibutuhkan formula berbeda antara atlet yang satu dengan yang lain. Ada satu atlet yang kalau tidur harus dipegang kupingnya. Terpaksalah setiap malam saya memegang kupingnya sampai dia tertidur. Ha ha ha.
Kami juga enggak bisa memaksakan atlet-atlet ini. Ada yang kalau dikerasi justru marah sampai mogok berlatih. Di situlah perlunya formula-formula khusus untuk menghadapi mereka, supaya mereka selalu termotivasi dan mau berlatih. Macam-macam karakter mereka. Tapi, justru itu yang membuat saya suka kangen kalau lama enggak melatih atlet-atlet spesial ini.
Pernah punya pengalaman lucu?
Ya. Pernah kejadian, ada atlet yang buang air besarnya berantakan dan enggak bisa cebok. Akhirnya saya yang membersihkan sekaligus mengajarkan agar ke depannya dia bisa mandiri. Ketika pegang atlet dengan low ability, enggak boleh lepas dari pengawasan kita.
Ada cerita saat saya mengikuti Special Olympics di Beijing. Suatu ketika saat jalan-jalan, saya bertanggungjawab atas dua anak low ability. Saat jalan-jalan itu, tiba-tiba perut saya mulas sekali, sehingga harus segera ke toilet. Sayangnya enggak ada orang lain yang bisa menggantikan saya untuk menjaga dua anak ini. Akhirnya terpaksalah saya bawa mereka ke toilet, daripada mereka hilang. He he he.
Bagaimana jika Anda yang tidak mood untuk melatih?
Jika itu terjadi, entah bagaimana. Tapi seringnya, sih, bad mood saya langsung hilang ketika melihat wajah dan tingkah laku mereka. Kalaupun masih tidak mood, saya lebih baik ambil waktu istirahat. Pergi karaoke atau sekadar nyanyi di kamar mandi.
Ada berapa jumlah atlet spesial di Jakarta?
Banyak. Totalnya mungkin sekitar 300-an atlet dari tujuh cabang olahraga yang ikut dalam Special Olympics. Cabang olahraga yang Indonesia ikuti adalah atletik, bulutangkis, renang, tenis meja, sepakbola, bola basket dan boci. Boci adalah olahraga seperti bowling tapi khusus untuk atlet yang low ability. Nomor atletik yang biasa diikuti negara kita adalah nomor lari, lompat dan lempar.
Bagaimana tanggapan orangtua dan suami dengan profesi Anda?
Awalnya mereka sempat meragukan keputusan saya, terlebih ketika memulai profesi ini, kan, saya hanya relawan. Jadi enggak ada pemasukan finansial sampai akhirnya saya menjadi PNS. Ketika November 2008 saya menikah, suami saya juga sempat bertentangan dengan saya. Namun setelah melihat kesungguhan saya, alhamdulillah keluarga merestui dan mendukung langkah saya. Saya bahagia keluarga mendukung saya untuk membuat hidup saya berguna bagi orang lain dan negara.
Bagaimana Anda membagi waktu antara profesi dan keluarga?
Di sinilah pentingnya kerja sama tim antara saya, suami, dan orangtua. Juga keikhlasan dan kepercayaan suami. Saya selalu ada waktu untuk keluarga, kadang kami jalan-jalan atau ajak anak-anak melihat saya melatih.
Apa harapan Anda terhadap atlet-atlet spesial?
Saya berharap akan semakin banyak atlet spesial dan di Olimpiade berikutnya prestasi mereka semakin meningkat. Semoga banyak juga orang yang mau meluangkan waktu dan tenaga menjadi relawan, bergabung bersama kami melatih atlet spesial ini. Apapun latar belakang mereka, enggak harus selalu dari bidang olahraga.
Tidak ingin menjadi atlet lagi?
Enggak, saya sepertinya kurang beruntung menjadi atlet. Terakhir saya menjadi atlet lontar martil dan pernah ikut PON tapi ada di urutan 4 atau 5. Sebelumnya saya pernah juga jadi atlet sprinter dan jalan cepat. Meski begitu, dengan menjadi pelatih saya bisa tetap berada di lapangan. Ternyata Tuhan memberi kesempatan ini agar saya menjadi seperti sekarang ini.
Edwin F. Yusman