“Mereka rela kehilangan quality time dengan ibunya, karena saya langsung pakai selang oksigen dan istirahat tidur sepulang kerja,” jelasnya.
(Baca: Ngeri, Hipertensi dan Gagal Jantung Ternyata Dipengaruhi Kebiasaan Tak Sehat Ini Sejak Kecil)
Sejak 2012, Dhian bersama rekan-rekan sesama penderita hipertensi paru mendirikan Yayasan Hipertensi Paru Indonesia yang resmi berbadan hukum sejak Desember 2014.
YHPI memiliki 4 program kerja, salah satunya adalah akses obat. Dari 14 obat yang tersedia di dunia, hanya 4 yang masuk ke Indonesia dan baru satu obat yang ditanggung oleh BPJS.
“Obat agak pelik juga, yang selama ini dipakai dan diresepkan pada kita bukan indikasi untuk hipertensi paru, hal yang kita perjuangkan itu jangkauan atau akses untuk pasien-pasien lain lewat BPJS. Karena obat yang dicover BPJS (adalah) obat tahap awal, tapi kan penyakit ini progresif,” rincinya.
(Baca: Kisah TKW Asal Madiun yang Koma di Hongkong)
Dhian sendiri harus mengeluarkan uang pribadi setidaknya 1 juta rupiah setiap bulannya untuk pengobatan rutin.
“Saya termasuk yang beruntung, tinggal di Jakarta, akses obat relatif mudah,” tutur Dhian membandingkan dengan para penderita hipertensi paru lain yang tinggal di daerah.
Lelah tentu sangat dirasakan oleh Dhian, apalagi dirinya menjalani pengobatan ini untuk seumur hidupnya.
Ditambah lagi, proses pengobatan di rumah sakit yang memakan waktu hingga 5-6 jam yang bisa membuat kondisi semakin drop.
“Jenuh pasti, setiap bulan harus ke RS dan setiap hari minum obat. Berharap suatu hari bisa stop berobat. Tapi daripada stress mikirin, jadi lebih baik jalani saja,” jelasnya.
Dhian juga berharap, masyarakat lebih mengenal hipertensi paru.
“Masih banyak dhian dhian yang lain, yang tidak seberuntung saya, yang kurang mendapat dukungan keluarga dan lingkungan,” tutupnya.