NOVA.id - Kebijakan work from home (WFH) bukan hanya memengaruhi aspek kesehatan, tapi juga aspek finanasial keluarga.
Bagaimana tidak, selama WFH, laptop atau komputer terus menyala—dan dalam satu rumah bisa ada 2-4 laptop atau komputer.
TV juga bisa jadi menyala sepanjang hari.
Lalu, untuk meeting, anak belajar jarak jauh, butuh kuota internet yang lebih besar dibandingkan biasanya.
Ini masih ditambah dengan AC dan kipas angin yang mungkin menyala lebih lama, kegiatan memasak yang meningkat, air minum galon yang lebih cepat habis, pompa air yang hidup lebih sering, dan lain-lain.
Duh, bisa-bisa pengeluaran membengkak, nih. Pusing, deh!
Baca Juga: Pintar Atur Uang, 6 Tips Penting saat Belanja Flash Sale agar Tetap Irit
Memang susah-susah gampang mengatur keuangan dalam kondisi seperti ini.
Apalagi, jika kondisi keuangan kita sekarang sedang tidak stabil.
Bisa kerena usaha kita terganggu karena penjualan tak selaris bisanya, atau karena kantor kita sudah memberlakukan pemotongan gaji atau bonus.
Soal pendapatan, kita bisa menambah ilmu sehingga jadi modal usaha atau pekerjaan berikutnya.
Di masa pandemi ini, artinya lewat berbagai webinar atau pelatihan online, seperti yang ditawarkan UN Women.
Baca Juga: Milenial Harus Melek Investasi Sejak Dini, Ini Alasannya!
Namun, bukan berarti kita yang punya pendapatan tetap dan belum mengalami gangguan boleh tenang dan bersenang-senang, ya.
Menurut Tejasari CFP, konsultan finansial, menghadapi kondisi seperti ini kita mesti mengatur ulang penempatan bujet bulanan keluarga.
Ya, mungkin biasanya kita telah menempatkan dana ke setiap pos dengan pembagian 40- 30-20-10 (40% untuk biaya hidup dan pengeluaran rutin, 30% untuk cicilan dan tagihan, 20% untuk kebutuhan pribadi (me time), 10% untuk tabungan dan investasi).
Tapi kini tampaknya kita harus merombak komposisi ini agar tak membengkak di satu pos dana saja.
“Kalau yang gajinya tetap, artinya tidak ada pengaruh apa pun di gajinya, mereka tinggal menyiasati dengan mengatur dari satu bujet ke bujet lain. Ya, bisa dialihkan ke biaya listrik dan WiFi, atau pos lain yang memang butuh sokongan dana. Jadi pertu switching budjet.
Kita mengubah bujet dan disesuaikan dengan kondisi sekarang. Nah, bagi yang pendapatannya tidak tetap, juga sama. Namun, memang harus lebih ekstra berhemat dan ketat karena income berkurang,” jalas Tejasari saat dihubungi NOVA.
Ya, karena semua aktivitas dijalankan di rumah, maka ada beberapa bujet yang tidak terpakai, misalnya biaya transportasi, seperti bensin, tol, parkir, ongkos angkutan (kereta, bus, MRT).
Baca Juga: Agar Cepat Kaya, Ini 4 Tips Pintar Atur Uang untuk Milenial, Wajib Disimak!
Ada juga biaya me time atau senang-senang yang biasanya dianggarkan 20 persen dari gaji, seperti ke salon, ke mal, pijat, dan lain sebagainya.
Nah, Anda bisa menutup lonjakan biaya rumah tangga tadi dengan memindahkan alokasi dana transportasi dan me time itu.
Tapi, berapa besar dana yang dipindahkan?
Baca Juga: Pintar Atur Uang Saat Virus Corona, Investasi Ini Janjikan Keuntungan
“Full dipindahin untuk meng-cover peningkatan-peningkatan karena di rumah tadi. Nah, dana itu kita masukkan ke pos dana kebutuhan hidup yang biasanya 40 persen tiap bulan,” ujar Tejasari.
Dengan begitu, biaya kebutuhan hidup bisa mencapai 60 persen dari pendapatan.
Sehingga, jika asumsi pendapatan kita Rp5 juta satu bulan, maka yang biasanya alokasi dana kebutuhan hidup Rp2 juta kini bisa menjadi Rp3 juta.
Baca Juga: Tips Pintar Atur Uang untuk Menabung, Pikirkan 3 Tujuan Ini agar Bisa Bikin Kita Semangat!
Tentu dengan menghilangkan pengeluaran untuk transportasi di dalamnya.
Sehingga, dana Rp3 juta ini bisa murni kita keluarkan untuk kebutuhan harian rumah tangga yang dibutuhkan dalam kondisi saat ini.
Dengan begitu, pengeluaran selama WFH tak jadi membengkak dan meledak, deh! (*)
++
Sahabat NOVA, jangan sampai ketinggalan berita dan informasi terbaru dan menarik soal selebriti dan dunia perempuan di Tabloid NOVA, ya.
Dapatkan edisi terbarunya dengan berlangganan, tinggal klik di sini.
Penulis | : | Maria Ermilinda Hayon |
Editor | : | Widyastuti |
KOMENTAR