NOVA.id - Belakangan ini ramai diperbincangkan di berita dan media sosial mengenai happy hypoxia.
Penyakit apa ini? Kok, ada kata “happy”-nya? Kata happy biasanya, kan, merujuk pada suasana emosi yang baik dan hati yang bahagia atau senang.
Tapi ternyata happy yang satu ini jauh dari rasa bahagia, apalagi bagi para penderita Covid-19.
Baca Juga: Happy Hypoxia, Gejala Baru Pasien OTG Covid-19 yang Mengancam Nyawa
Dan yang perlu diluruskan, sebenarnya istilah yang benar adalah happy hypoxemia.
Happy hypoxia memiliki pengertian lain.
Tapi apakah sebenarnya happy hypoxemia ini dan apa hubungannya dengan happy hypoxia?
Baca Juga: Belum Tentu Covid-19, Batuk Kering Bisa Jadi Pertanda 3 Penyakit Ini
Sebelum sampai pada happy hypoxemia, kita wajib tahu dulu apa itu hypoxemia.
Hypoxemia adalah sebuah kondisi, bukan penyakit.
Kondisi di mana kadar oksigen di dalam darah berada di bawah nilai normal.
Baca Juga: Perhatikan, Ini 10 Cara Mencegah Penularan Covid-19 pada Lansia
Artinya, apabila kadar oksigen diukur oleh saturasi oksigen, angkanya berada di bawah 95 persen atau PaO2 di bawah 80 mmHg.
Sedangkan hypoxia adalah suatu kondisi apabila jaringan yang ada di dalam tubuh kita kekurangan oksigen.
Meskipun kita lebih sering mendengar happy hypoxia, menurut Dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K), FISR, FAPSR., Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), istilah happy hypoxemia lebih tepat digunakan mengingat definisi dari kondisi yang terjadi.
Baca Juga: Mari Tingkatkan Kepedulian terhadap Demensia Alzheimer Lintas Generasi di Tengah Pandemi Covid-19
“Jadi berbeda. Tapi umumnya hypoxemia jika berlanjut terus akan menjadi hypoxia pada jaringan tubuh,” jelas dr. Agus Agus saat dihubungi NOVA.
Bagaimana penjelasannya?
Oksigen yang kita hirup akan masuk ke tubuh dan diikat oleh komponen darah (hemoglobin) lalu diedarkan ke seluruh jaringan tubuh.
Baca Juga: 12 Makanan yang Miliki Kandungan Vitamin C Tinggi untuk Tingkatkan Imun Tubuh
Lalu otot, organ tubuh, dan otak, akan mendapatkan oksigen dari hemoglobin tadi.
Alhasil, ketika kadar oksigen di dalam darah sudah kurang, maka akan berdampak pada kurangnya oksigen pada jaringan pula.
Biasanya seseorang yang mengalami kondisi hypoxemia akan mengalami beberapa keluhan atau gejala, dari yang ringan sampai berat.
Baca Juga: Di Tengah Pandemi Covid-19, Jangan Remehkan Demam Berdarah Dengue!
Di antaranya lemah, sakit kepala, sesak napas, napas berat, hingga mengalami kondisi kritis dan mengakibatkan gagal napas atau tidak sadarkan diri.
Asal tahu saja, hypoxemia adalah istilah lama dan sudah umum terjadi, khususnya pada orang dengan penyakit pernapasan seperti asma, PPOK (penyakit paru obstruktif kronis), atau pneumonia.
Gangguan ini juga umum terjadi pada orang dengan penyakit kardiovaskular atau jantung.
Baca Juga: Happy Hypoxia, Gejala Baru Pasien OTG Covid-19 yang Mengancam Nyawa
Masalahnya, pada kasus tertentu hypoxemia bisa menyerang diamdiam tanpa memperlihatkan gejala dan mengancam jiwa dalam kesunyian.
Kondisi inilah yang disebut happy hypoxemia atau silent hypoxemia.
Dan kondisi ini bisa ditemukan pada pasien Covid-19.
Baca Juga: Mudah Dicari, 4 Bahan Herbal asal Indonesia Ini Ampuh Tingkatkan Imun
“Orang yang mengalami happy hypoxemia di Covid-19, dalam aktivitasnya dia terlihat seperti orang normal dan tidak ada keluhan. Jadi, baik-baik saja, tidak terdeteksi,” ujar dr. Agus.
Apa yang membuatnya tidak terdeteksi pada pasien Covid-19?
Di dalam pembuluh darah sebenarnya terdapat reseptor yang berfungsi melaporkan kepada sistem saraf pusat jika terjadi kekurangan kadar oksigen.
Baca Juga: Peneliti Ungkap Kandungan Eucalyptol agar Aman Jalani New Normal
Nantinya saraf pusat akan memberikan respon kepada tubuh.
Responnya bisa berupa gejala hypoxemia atau peningkatan frekuensi napas untuk meningkatkan jumlah oksigen yang masuk.
Sayangnya, respon ini tidak terjadi pada pasien Covid-19.
Baca Juga: Perusahaan Farmasi Asal Korea Ini Mulai Kembangkan Perawatan Covid-19 dengan Stem Cell di Indonesia
“Hal ini karena adanya virus SARS Cov-2 yang mengganggu sistem pelaporan kondisi hypoxemia dari reseptor yang ada di dalam pembuluh darah kepada sistem saraf pusat atau otak. Itu masih menjadi suatu hipotesis,” jelas dr. Agus.
Masalahnya, kita tahu jika terjadi hypoxemia dalam jangka lama bisa menyebabkan kekurangan oksigen pada jaringan dan akan menyebabkan kerusakan.
Tentu hal ini jadi bahaya.
Baca Juga: Peneliti Mengklaim Ikan Gabus sebagai Obat Virus Corona, Ini Manfaat Lain yang Jarang Diketahui!
Pasalnya, ketika keluhan happy hypoxemia muncul pada penderita Covid-19, umumnya sudah memasuki tahap Covid-19 derajat berat atau kritis.
Tak terkecuali pada penderita Covid-19 yang tak bergejala.
Dapatkan pembahasan yang lebih lengkap dan mendalam di Tabloid NOVA.
Yuk, langsung langganan bebas repot di Grid Store.(*)
Penulis | : | Maria Ermilinda Hayon |
Editor | : | Dionysia Mayang Rintani |
KOMENTAR