Langsung menuduh si anak dan menekannya untuk mengakui bahwa ia telah mengambil barang orang lain, menurut Risa juga tak baik dilakukan. "Asas praduga tak bersalah tetap harus diterapkan. Jika langsung menuduh, biarpun anak kecil tetap akan merasa sakit." Apalagi si anak, kan, belum mengerti bahwa perbuatannya itu salah.
Jika anak ditekan, ujar Risa, nanti ia malah jadi memberontak. Bukannya mengaku, malah ia akan terus mengelak. "'Mencuri' dan berbohong biasanya muncul beriringan pada anak. Anak yang 'mencuri' biasanya akan berbohong bila ia terus-menerus ditekan." Akibatnya, bisa jadi si anak akan terus melakukan perbuatannya mengambil tapi secara diam-diam. Bukan karena ia tahu perbuatannya tak dapat dibenarkan, tapi karena ia takut dimarahi orang tua. Apalagi jika orang tua sampai melakukan hukuman fisik.
Itulah mengapa Risa sependapat dengan Singgih bahwa orang tua tak perlu menggunakan cara keras dalam mengatasi perbuatan mengambil milik orang lain yang dilakukan anak usia ini. "Adalah tugas orang tua untuk memahami, mengawasi, dan memberi nilai-nilai pada anak. Kalau hanya sekadar marah, maka komunikasi nggak bakal jalan. Orang tua juga nggak tahu apakah anak memahami maksud mereka dan apakah anak bisa melakukan apa yang diinginkan orang tua."
MELIHAT & MENCONTOH
Tak jarang orang tua mengeluh, anaknya sudah diajarkan sopan-santun dan segala macam nilai-nilai tapi, kok, masih saja "mencuri". "Mungkin saja karena caranya orang tua yang salah, sehingga anaknya enggak paham," tukas Risa. Contohnya sikap orang tua yang otoriter tadi.
Bisa juga karena si anak "belajar" dari orang tuanya. Ambil contoh seorang ibu yang punya kebiasaan mengambil uang dari dompet ayah bila memerlukan uang, entah untuk belanja sehari-hari atau keperluan lain. Atau si ayah suka mengambil barang milik ibu tanpa minta izin lagi setiap kali memerlukannya.
Keadaan ini mungkin umum dalam rumah tangga dan tak mengandung arti pencurian. Bahkan mungkin baik ibu maupun ayah sebetulnya sudah sepakat dalam hal itu, sehingga tak perlu lagi saling minta izin.
Tapi anak yang melihat perbuatan itu berlangsung sehari-hari, tentunya akan berpikir, "Oh, kalau begitu aku juga boleh, dong." Akibatnya, ketika si anak menginginkan sesuatu, ia langsung mengambilnya tanpa minta izin lagi. Mulanya mungkin hanya mengambil milik ayah-ibu atau kakak-adiknya, tapi lama-lama bisa merembet ke milik orang lain di luar keluarganya. Celaka, kan?
Karena itulah kita harus hati-hati dalam berbuat. Maksudnya, kita harus selalu sadar diri bahwa ada si kecil yang akan mengawasi lalu meniru perbuatan kita. Ingatlah, si kecil belum kuat dasar-dasar pengertiannya akan hak milik pribadi dan orang lain. Tugas kitalah untuk menanamkannya, bukan hanya lewat omongan tapi juga dengan contoh-contoh nyata.
Risa malah menegaskan, "Orang tua harus introspeksi diri jika ada tingkah laku yang salah pada anak dan memberi contoh dalam kehidupan sehari-hari." Jangan sampai si anak jadi bingung, "Katanya nggak boleh, tapi, kok, Ayah dan Ibu ngambil juga.
Tentunya butuh waktu lama untuk anak sampai pada pengertian bahwa "mencuri" adalah perbuatan yang tak boleh dilakukan. Makanya orang tua jangan bosan-bosan untuk terus memberi tahu si anak dan mengingatkannya selama proses belajar tersebut. "Memang capek kelihatannya, tapi itulah yang paling tepat," kata Risa.
AJARKAN MEMINTA
"Para orang tua adalah suara hati anak-anak mereka sampai saat mereka dewasa," tulis Jerry Wyckoff, Ph.D. & Barbara C. Unell dalam bukunya yang dialih bahasa, Disiplin Tanpa Teriakan Atau Pukulan. Kedua ahli ini menyarankan, mintalah anak bicara pada orang tua jika ia menginginkan segala sesuatu. Tapi orang tua jangan cuma meminta si anak berbuat demikian, melainkan juga mengajari anak caranya meminta.
Jadi, orang tua harus membuat aturan tentang apa yang boleh dan tak boleh diambil dari tempat-tempat umum maupun rumah orang lain. Beri tahu anak tentang aturan main ini. Katakan, "Kamu harus selalu bertanya pada Ibu (Ayah) apakah kamu boleh memiliki sesuatu sebelum kamu mengambilnya."
Karena si anak tak mengerti mengapa ia tak boleh mengambil barang-barang yang ia lihat ketika ia menginginkannya, maka orang tua harus memberi tahunya pula tentang perilaku yang benar dan salah. Katakan, "Kamu boleh meminta sebungkus permen karet dari Ibu. Jika Ibu mengatakan, ya, kamu boleh mengambilnya satu bungkus dan memegangnya sebelum Ibu membayarnya."
Bersikaplah konsisten. Jangan sampai hari ini orang tua melarang si anak mengambil sesuatu dari rak toko, tapi di hari lain malah membiarkannya. Hal ini hanya akan membuatnya bingung. Ajari pula anak membedakan antara meminjam dan mengambil tanpa izin, serta akibat dari masing-masing perbuatan itu. Hal ini untuk memastikan bahwa si anak mengetahui apa yang orang tua maksudkan dengan, "Kamu tak boleh mengambil milik orang lain tanpa izin."
Jika si anak masih saja mengambil milik orang lain padahal sudah diberi tahu berulang kali dan orang tua pun telah menunjukkan konsistensinya, menurut Risa, bisa saja orang tua mengatakan, "Kalau kamu melakukan hal itu lagi, maka Mama nggak akan mengajak kamu ke toko lagi."
Sebaliknya, jika si anak memahami aturan yang diterapkan, maka ia berhak mendapatkan reward. "Beri si anak hal-hal positif dan menyenangkan," anjur Risa. Misalnya, pujian atau membelikan sesuatu yang sudah lama diinginkan si anak, dan sebagainya.
Bagaimanapun yang namanya punishment dan reward tetap harus diberikan dalam proses belajar. Dengan demikian anak akan mengulangi perbuatan yang mendapatkan imbalan menyenangkan dan menghentikan perbuatan yang mendapatkan imbalan tak menyenangkan. Yang penting, imbalan tersebut (baik yang menyenangkan maupun tidak) digunakan demi kebaikan si anak. Bukan malah "mencelakakan"nya semisal hukuman fisik atau pemberian hadiah yang berlebihan.
Julie Erikania/Hasto Prianggor
KOMENTAR