Kaget, marah, dan malu. Itulah reaksi orang tua jika anaknya mencuri. Padahal, wajar-wajar saja anak usia 3-5 tahun mengambil sesuatu yang bukan miliknya.
Ya, memang begitulah kata para ahli. "Mencuri" pada anak balita hanya salah satu bentuk kenakalan anak. Hampir semua anak usia ini kadang mengambil sebuah mainan atau benda yang menarik baginya. Apa sebabnya? Seperti diterangkan Prof. Dr. Singgih Dirga Gunarsa dari Fakultas Psikologi UI, "Anak usia 3-5 tahun belum mengerti mengenai hak milik orang lain."
Bagi anak usia balita, segala sesuatu di dunia ini adalah miliknya sampai seseorang memberitahukannya. Dia belum punya pengertian tentang konsep kepemilikan. Juga belum menyadari, mendapatkan sesuatu dengan cara mengambil dari anak/orang lain berarti anak/orang lain itu kehilangan benda yang telah diambilnya. Dia pun belum mengerti bahwa dengan mengambil benda yang diinginkan tanpa izin si pemilik, berarti ia melanggar hak milik anak/orang lain dan akan merugikan anak/orang lain.
Selain itu, "Anak usia ini juga belum mengerti tentang mana yang benar dan salah," ujar Singgih.
KEINGINAN MEMILIKI
Hal lain yang mendorong anak usia ini mengambil milik orang lain ialah keinginan untuk memiliki. "Anak yang terlalu banyak dibatasi macam-macam dan tak memperoleh sesuatu tapi ingin memiliki, akhirnya akan memaksa dirinya mengambil milik orang lain," terang Singgih.
Memang, seperti dituturkan Dra. Psi. Risatianti Kolopaking dari RSIA Hermina Bekasi, hubungan orang tua dan anak adalah faktor penting. Orang tua yang bersikap terlalu keras atau otoriter sehingga tak ada keterbukaan, contohnya, mengakibatkan anak tak bisa menyampaikan keinginan dan pendapatnya. Sayangnya, kata Risa, kebanyakan orang tua tak menyadari tindakannya. "Pokoknya, ini nggak boleh, itu nggak boleh. Orang tua merasa, apa yang mereka katakan adalah benar dan harus dituruti oleh anak. Padahal, seharusnya tidak begitu," tuturnya.
Orang tua yang bijaksana, bukan cuma melarang tapi harus menjelaskan mengapa dilarang. Dengan demikian anak jadi mengerti. Kuncinya, menurut Risa, "Orang tua harus memahami kebutuhan anak, sekaligus punya aturan yang disesuaikan dengan kebutuhan tersebut. Orang tua pun harus mau berkompromi dengan anak."
Aturan, tekan Risa, jelas harus ada. "Tapi tak bisa searah. Apalagi untuk anak yang sedang tumbuh. Harus dua arah dan dibuat berdasarkan kompromi antara anak dengan orang tua. Jadi, bukan bersikap otoriter." Dengan demikian orang tua akan tahu cara mengarahkan anak.
Si anak pun akan jadi lebih terbuka pada orang tua karena ia diberi kesempatan untuk mengungkapkan keinginannya dan pendapatnya. Anak merasa dihargai sehingga ia pun dapat lebih memahami apa yang diinginkan oleh orang tuanya.
TERGANTUNG ORANG TUA
Keinginan untuk memiliki dan akhirnya membuat si anak mengambil barang orang lain, juga bisa dipicu oleh fasilitas yang tak memadai. Misalnya, anak ingin sekali punya mainan bagus tapi orang tuanya tak mampu. Akhirnya dia mengambil kepunyaan temannya.
Tentu saja, tak semua anak dari status sosial ekonomi lemah akan melakukan hal itu. Akhirnya, ya, tergantung orang tuanya juga. Jika orang tuanya mengajarkan mana yang boleh dan tak boleh dilakukan si anak, ia tak akan mencuri. Anak pun harus diberi penjelasan mengapa orang tuanya tak dapat memenuhi keinginannya, sehingga ia mengerti.
Sebaliknya, anak yang segala keinginannya dipenuhi, juga bisa mengambil milik orang lain. Ia yang sudah terbiasa dipenuhi segala keinginannya, pada suatu saat akan mengambil barang milik temannya jika keinginannya tak dikabulkan orang tuanya. Apalagi ditambah ketidaktahuannya akan hak milik.
Pada kasus ini, selain harus mengajarkan anak tentang hak milik, orang tua juga jangan selalu menuruti keinginan anak. Pertimbangkanlah selalu kegunaan maupun keamanan barang yang diinginkan anak. Kalau memang tidak bermanfaat atau bisa mencelakakan, ya, jangan diberikan meski ia sangat menginginkannya. Dengan demikian, anak belajar mengendalikan keinginan-keinginannya.
BUKAN PENCURI
Lantas, bagaimana sebaiknya tindakan orang tua kalau anaknya ketahuan mengambil milik orang lain? "Ya, nggak masalah!" tukas Singgih. Maksudnya, si kecil tak perlu dimarahi atau dihukum. Cukup diberi tahu, perbuatannya itu tak boleh dilakukan. "Jelaskan juga padanya, kenapa ia tak boleh melakukan hal itu," saran Risa pada kesempatan terpisah. Orang tua bisa mengatakan, "Temanmu pasti sedih karena kehilangan mainannya." Bantu si anak untuk bisa ikut merasakan kesedihan tersebut, "Kamu juga sedih, kan, kalau mainanmu diambil temanmu?"
Tak perlu menjelaskan pada anak bahwa perbuatannya itu disebut mencuri dan mencuri adalah perbuatan jahat atau tidak baik. Soalnya, anak akan berpikir, kalau begitu dirinya jahat, tidak baik. Jelas ini tak bagus efeknya untuk perkembangan kepribadian si anak. Apalagi bila orang tua sampai memberi label pencuri pada anak.
Lantaran itulah Singgih sangat tidak setuju bila kita menggunakan istilah mencuri terhadap perbuatan mengambil milik orang lain yang dilakukan anak usia 3-5 tahun. "Membedakan hak milik orang lain saja dia belum tahu, bagaimana bisa dibilang dia mencuri? Kalau dia mengambil sesuatu lalu kita memberikan label mencuri, itu terlalu cepat," terangnya.
Makanya Singgih menegaskan, "Pada anak usia ini harus sudah ditanamkan pengertian akan nilai-nilai yang boleh dan tak boleh dilakukan, apa yang boleh dan tak boleh dimiliki."
HUKUMAN
Meminta si anak untuk mengembalikan barang atau mainan yang diambilnya, juga tak dianjurkan oleh Singgih. "Itu sama saja dengan hukuman!" tandasnya. "Kecuali kalau mengembalikannya di tempat tertentu yang gampang, tak masalah." Misalnya si kecil mengambil bolpen milik ayah tanpa izin. Katakan, "Bolpen ini bukan punya kamu, tapi punya Ayah. Kalau kamu ingin memakainya, harus bilang dulu sama Ayah. Nah, sekarang kembalikan bolpen itu di tempatnya semula."
Singgih mengakui, memang hukuman harus dilakukan sesuai dengan perbuatan yang dilakukan. Tapi jika prinsip tersebut dilakukan pada anak usia 3-5 tahun, "Rasanya, kok, terlalu keras."
Repotnya, jika barang yang diambil si anak adalah kepunyaan orang lain seperti mainan temannya. "Boleh saja minta si anak mengembalikannya, tapi bukan sebagai hukuman, ya," tegas Singgih. Maksudnya, kitalah yang mengembalikan barang tersebut bersama si anak. Tentu setelah si anak dijelaskan, "Mainan ini bukan punya kamu. Jadi, jangan kamu ambil. Yuk, kita kembalikan." Dengan kata lain, "Pengembalian itu bertujuan mengenalkan kepada anak bahwa barang tersebut bukan miliknya dan ia tak boleh mengambilnya."
Langsung menuduh si anak dan menekannya untuk mengakui bahwa ia telah mengambil barang orang lain, menurut Risa juga tak baik dilakukan. "Asas praduga tak bersalah tetap harus diterapkan. Jika langsung menuduh, biarpun anak kecil tetap akan merasa sakit." Apalagi si anak, kan, belum mengerti bahwa perbuatannya itu salah.
Jika anak ditekan, ujar Risa, nanti ia malah jadi memberontak. Bukannya mengaku, malah ia akan terus mengelak. "'Mencuri' dan berbohong biasanya muncul beriringan pada anak. Anak yang 'mencuri' biasanya akan berbohong bila ia terus-menerus ditekan." Akibatnya, bisa jadi si anak akan terus melakukan perbuatannya mengambil tapi secara diam-diam. Bukan karena ia tahu perbuatannya tak dapat dibenarkan, tapi karena ia takut dimarahi orang tua. Apalagi jika orang tua sampai melakukan hukuman fisik.
Itulah mengapa Risa sependapat dengan Singgih bahwa orang tua tak perlu menggunakan cara keras dalam mengatasi perbuatan mengambil milik orang lain yang dilakukan anak usia ini. "Adalah tugas orang tua untuk memahami, mengawasi, dan memberi nilai-nilai pada anak. Kalau hanya sekadar marah, maka komunikasi nggak bakal jalan. Orang tua juga nggak tahu apakah anak memahami maksud mereka dan apakah anak bisa melakukan apa yang diinginkan orang tua."
MELIHAT & MENCONTOH
Tak jarang orang tua mengeluh, anaknya sudah diajarkan sopan-santun dan segala macam nilai-nilai tapi, kok, masih saja "mencuri". "Mungkin saja karena caranya orang tua yang salah, sehingga anaknya enggak paham," tukas Risa. Contohnya sikap orang tua yang otoriter tadi.
Bisa juga karena si anak "belajar" dari orang tuanya. Ambil contoh seorang ibu yang punya kebiasaan mengambil uang dari dompet ayah bila memerlukan uang, entah untuk belanja sehari-hari atau keperluan lain. Atau si ayah suka mengambil barang milik ibu tanpa minta izin lagi setiap kali memerlukannya.
Keadaan ini mungkin umum dalam rumah tangga dan tak mengandung arti pencurian. Bahkan mungkin baik ibu maupun ayah sebetulnya sudah sepakat dalam hal itu, sehingga tak perlu lagi saling minta izin.
Tapi anak yang melihat perbuatan itu berlangsung sehari-hari, tentunya akan berpikir, "Oh, kalau begitu aku juga boleh, dong." Akibatnya, ketika si anak menginginkan sesuatu, ia langsung mengambilnya tanpa minta izin lagi. Mulanya mungkin hanya mengambil milik ayah-ibu atau kakak-adiknya, tapi lama-lama bisa merembet ke milik orang lain di luar keluarganya. Celaka, kan?
Karena itulah kita harus hati-hati dalam berbuat. Maksudnya, kita harus selalu sadar diri bahwa ada si kecil yang akan mengawasi lalu meniru perbuatan kita. Ingatlah, si kecil belum kuat dasar-dasar pengertiannya akan hak milik pribadi dan orang lain. Tugas kitalah untuk menanamkannya, bukan hanya lewat omongan tapi juga dengan contoh-contoh nyata.
Risa malah menegaskan, "Orang tua harus introspeksi diri jika ada tingkah laku yang salah pada anak dan memberi contoh dalam kehidupan sehari-hari." Jangan sampai si anak jadi bingung, "Katanya nggak boleh, tapi, kok, Ayah dan Ibu ngambil juga.
Tentunya butuh waktu lama untuk anak sampai pada pengertian bahwa "mencuri" adalah perbuatan yang tak boleh dilakukan. Makanya orang tua jangan bosan-bosan untuk terus memberi tahu si anak dan mengingatkannya selama proses belajar tersebut. "Memang capek kelihatannya, tapi itulah yang paling tepat," kata Risa.
AJARKAN MEMINTA
"Para orang tua adalah suara hati anak-anak mereka sampai saat mereka dewasa," tulis Jerry Wyckoff, Ph.D. & Barbara C. Unell dalam bukunya yang dialih bahasa, Disiplin Tanpa Teriakan Atau Pukulan. Kedua ahli ini menyarankan, mintalah anak bicara pada orang tua jika ia menginginkan segala sesuatu. Tapi orang tua jangan cuma meminta si anak berbuat demikian, melainkan juga mengajari anak caranya meminta.
Jadi, orang tua harus membuat aturan tentang apa yang boleh dan tak boleh diambil dari tempat-tempat umum maupun rumah orang lain. Beri tahu anak tentang aturan main ini. Katakan, "Kamu harus selalu bertanya pada Ibu (Ayah) apakah kamu boleh memiliki sesuatu sebelum kamu mengambilnya."
Karena si anak tak mengerti mengapa ia tak boleh mengambil barang-barang yang ia lihat ketika ia menginginkannya, maka orang tua harus memberi tahunya pula tentang perilaku yang benar dan salah. Katakan, "Kamu boleh meminta sebungkus permen karet dari Ibu. Jika Ibu mengatakan, ya, kamu boleh mengambilnya satu bungkus dan memegangnya sebelum Ibu membayarnya."
Bersikaplah konsisten. Jangan sampai hari ini orang tua melarang si anak mengambil sesuatu dari rak toko, tapi di hari lain malah membiarkannya. Hal ini hanya akan membuatnya bingung. Ajari pula anak membedakan antara meminjam dan mengambil tanpa izin, serta akibat dari masing-masing perbuatan itu. Hal ini untuk memastikan bahwa si anak mengetahui apa yang orang tua maksudkan dengan, "Kamu tak boleh mengambil milik orang lain tanpa izin."
Jika si anak masih saja mengambil milik orang lain padahal sudah diberi tahu berulang kali dan orang tua pun telah menunjukkan konsistensinya, menurut Risa, bisa saja orang tua mengatakan, "Kalau kamu melakukan hal itu lagi, maka Mama nggak akan mengajak kamu ke toko lagi."
Sebaliknya, jika si anak memahami aturan yang diterapkan, maka ia berhak mendapatkan reward. "Beri si anak hal-hal positif dan menyenangkan," anjur Risa. Misalnya, pujian atau membelikan sesuatu yang sudah lama diinginkan si anak, dan sebagainya.
Bagaimanapun yang namanya punishment dan reward tetap harus diberikan dalam proses belajar. Dengan demikian anak akan mengulangi perbuatan yang mendapatkan imbalan menyenangkan dan menghentikan perbuatan yang mendapatkan imbalan tak menyenangkan. Yang penting, imbalan tersebut (baik yang menyenangkan maupun tidak) digunakan demi kebaikan si anak. Bukan malah "mencelakakan"nya semisal hukuman fisik atau pemberian hadiah yang berlebihan.
Julie Erikania/Hasto Prianggor
KOMENTAR