TabloidNova.com - Dalam diskusi bertema "Kebangkitan Indonesia dalam Perspektif Pemimpin" yang digelar di tengah ajang pameran buku Jakarta Book Fair 2014 di Istora Senayan Jakarta, Wali Kota Bogor Bima Aria yang menjadi salah satu narasumber, mengisahkan pengalamannya yang baru sekitar 50 hari memimpin salah satu kota di wilayah Jawa Barat itu.
"Sejak menjabat sebagai walikota atau pemimpin daerah, saya jadi paham ketika melihat di televisi kenapa para pemimpin daerah bisa mudah marah-marah, seperti Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, atau Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahok. Ternyata memang banyak hal yang tak bisa diselesaikan dalam waktu cepat. Seperti yang saya alami sekarang," tutur pria yang kini lebih suka disapa Kang Bima ini.
Menurutnya, banyak faktor yang bisa memengaruhi hambatan dalam pembangunan tersebut. Yakni soal pendidikan, mental, kultur. "Di Bogor, menurut saya, yang paling berat adalah membangun kultur masyarakatnya. Tidak banyak orang yang bisa berpikir jauh ke depan. Makanya saya sedang fokus membangun karakter masyarakat agar mau berpikir out of the box, melampaui segalanya," tuturnya.
Lantas, bagaimana cara untuk membangun karakter masyarakat yang dipimpinnya?
"Bisa melalui dunia pendidikan, yang merupakan jangka panjang. Tapi ada juga cara jangka pendeknya, yakni dengan memberikan shock therapy, memberi ketegasan kepada masyarakat yang melanggar aturan daerah, misalnya."
Banyak hal yang belum bisa diselesaikan dengan segera di Bogor. Salah satunya soal pengaturan angkutan umum di perkotaan (angkot) yang terkenal semrawut dan selalu membuat macet di kota Bogor yang tidak begitu luas. Menurut Bima, hal itu bukan melulu dipicu oleh persoalan "perut" atau faktor ekonomi.
"Orang lapar dikasih makan, ya, sudah. Selesai. Sementara pada orang yang perutnya terisi, akan selalu muncul idealisme-idealisme yang
lebih powerful. Dan ini datangnya dari kelas menengah," tuturnya.
Oleh karena itu Bima lebih suka mengajar sebagai dosen kepada orang-orang kelas menengah yang kritis dan terbuka. Tidak seperti pejabat terdahulu yang hanya mengatakan "Siap, Bos!".
"Disangkanya semua perkataan saya adalah instruksi. Saya sempat syok juga awal masuk ke lingkungan seperti ini. Sementara saya akademisi yang terbiasa berdiskusi kritis dan terbuka," tuturnya sambil tertawa.
Dengan semangat membangun karakter masyarakat, lanjut Bima, "Kami nantinya tidak sudi lagi kota kami disebut sebagai kota sejuta angkot, sebab kami akan ubah kota Bogor menjadi kota sejuta taman," tukasnya dengan nada optimis.
Intan Y. Septiani
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
KOMENTAR