TabloidNova.com - Seolah kerusuhan yang terjadi pada Mei 1998 lalu baru saja terjadi. Tanpa terasa, peristiwa berdarah itu telah 16 tahun berlalu. Banyak pihak yang kembali mempertanyakan penuntasan kasus pelanggaran hak azasi manusia (HAM) yang terjadi kala itu.
Salah satu pihak yang paling gencar menyuarakan penuntasan peristiwa yang dikenal dengan Tragedi Mei 1998 itu adalah Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), yang memang terbentuk pasca peristiwa tersebut.
Untuk itu, Komnas Perempuan kembali mengingatkan kepada seluruh masyarakat Indonesia bahwa penuntasan kasus Mei 1998 adalah batu ujian bagi terciptanya niat baik dan kemampuan bangsa Indonesia dalam menata masa depan yang berkeadilan, dengan menyampaikan kebenaran kepada generasi penerus bangsa.
Komnas Perempuan sangat menghargai upaya seluruh masyarakat untuk terus memperingati Tragedi Mei 1998 setiap tahun. Upaya ini dimaksudkan untuk memastikan pemenuhan hak-hak korban, memutus impunitas, serta mencegah peristiwa serupa terulang kembali di masa mendatang.
Sayangnya, Komnas Perempuan melihat, selama 16 tahun upaya ini tampaknya masih menjadi prakarsa masyarakat ketimbang negara, yang sesungguhnya merupakan penanggung jawab utama penegakan hak asasi manusia.
Maka dari itu, Komnas Perempuan mendesak negara sebagai pelaksanaan mandat konstitusi untuk lebih proaktif dalam mendukung inisiatif masyarakat mengenai peringatan Tragedi Mei 1998. Dalam hal ini, Komnas Perempuan mengapresiasi dukungan Pemprov DKI Jakarta pada upaya memorialisasi Tragedi Mei 1998, dengan melakukan peletakan batu pertama di kawasan Klender, Jakarta.
Komnas Perempuan juga berpendapat, penundaan atau pengabaian atas terjadinya Tragedi Mei 1998 akan menyebabkan Indonesia dicatat sebagai bangsa yang melakukan pengelabuan sejarah dan pengabaian hak-hak korban dan keluarga korban atas kebenaran, keadilan, serta pemulihan.
Maka, Komnas Perempuan mendorong anggota DPR/DPD serta presiden dan wakil presiden terpilih di Pemilu 2014 nanti untuk memastikan penuntasan penyelesaian kasus Mei 1998, dalam rangkaian penuntasan pelanggaran hak azasi manusia (HAM) di masa lalu, sebagai salah satu prioritas kerja mereka.
Dalam kesempatan ini, seorang penulis berdarah Tionghoa-Indonesia yang sudah puluhan tahun tinggal di Australia, Dewi Anggraeni, meluncurkan bukunya yang berjudul Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan.
Di dalam bukunya yang berlatar belakang sejarah kelam bangsa Indonesia dalam menegakkan demokrasi di Tanah Air ini, Dewi meminjam "mata" para pendamping korban kekerasan seksual dan pemerkosaan yang mayoritas beretnis Tionghoa di Jakarta, untuk mengisahkan betapa menderitanya para korban hingga detik ini.
Banyak hal yang selama ini belum terungkap secara jelas, dibuka secara gamblang di dalam buku terbitan Penerbit Buku Kompas, yang disusun Dewi dari Negeri Kangguru. Namun ia dibantu oleh banyak pihak di Indonesia yang sejak Mei 1998 telah menjadi malaikat penolong bagi para korban Tragedi Mei 1998, yang hingga kini masih mencari keadilan.
Intan Y. Septiani
KOMENTAR