"Bagi Tuhan tak ada yang mustahil/ Bagi Tuhan tak ada yang tak mungkin/ Mukjizat-Nya disediakan bagiku/ Ku diangkat dan dipulihkannya..." Kusenandungkan lagu rohani yang dipopulerkan Sari Simorangkir ini di dekat telinga anakku, Bulan Magdalena (24). Magda, sapaan sayangku untuknya, segera merespons. Di pembaringannya di Ruang Krisan, RSUD Djasemen Saragih, Pematang Siantar, ia pun bergerak-gerak. Ah, aku senang melihatnya.
Di saat lain, aku mengajaknya berdialog, "Hei Magda anak Tuhan. Kamu kesayangan-Nya. Bilur-bilur Tuhan akan menyembuhkanmu. Amin!' Lalu, dia berusaha mencari suaraku. Matanya mengerjap dan kepalanya menoleh ke arahku. Aku meyakini, ia sudah mampu merespons, meski masih sangat lemah. Aku percaya, perkembangan Magda yang membaik adalah bagian dari mukjizat Allah. Seperti lagu yang kunyanyikan untuknya, memang tak ada yang mustahil bagi Tuhan.
Magda, anakku nomor dua dari tiga bersaudara, sudah hampir lima tahun terbaring koma. Ya, lima tahun. Waktu yang tak sebentar. Selama ini ia hanya berbaring. Ia memang sudah bisa membuka mata, tapi tak mampu melihat. Dokter mengatakan, sarafnya tertidur dan menunggu bangun. Entah sampai kapan. Tapi, aku percaya suatu saat nanti ia akan bangun.
Tertabrak mobil
Kejadian itu bermula ketika pada 22 Maret 2009 silam, Magda yang bersekolah di tahun pertamanya di Akademi Perawat RS HKBP Balige, diajak abang kelasnya ke RS Tarutung. Mereka berboncengan sepeda motor. Kawan-kawan Magda yang lain juga ikut. Rombongan kecil dengan tiga sepeda motor itu melaju menuju Tarutung sekitar jam 14.00 dari Balige.
Sesampai di kawasan Siborong-borong, abang kelas Magda yang aku sudah lupa namanya, berusaha menyalip mobil di depannya. Namun pada saat bersamaan, mobil dari arah depan melaju cukup kencang. Sayang, abang kelas Magda tak bisa menguasai kendaraan. Ia meloncat, namun Magda langsung tertabrak mobil dan terpelanting. Begitu kerasnya benturan, sepeda motor yang ditumpangi sampai ringsek. Lantas bagaimana nasib Magda?
Pada saat itu, di rumah di Desa Matiu, Kecamatan Balige, aku sedang istirahat setelah seharian kerja di ladang sebagai buruh tani. Ponselku lantas berdering, nomor yang tak kukenali masuk. Ia mengaku kawan Magda. "Ini Mamak Magda? Mamak datang lah ke RS Tarutung, ya, Magda kecelakaan sepeda motor," ujar suara di seberang. Dari kawannya itulah aku paham, Magda mengalami musibah dan dibawa ke RS Tarutung.
Lemaslah aku. Bagaimana pula keadaan Magda? Namun ketika itu aku cukup tenang. Segera aku masuk kamar dan berdoa, "Tuhan, Engkaulah yang bekerja. Apa pun musibah ini adalah rencana-Mu. Dan aku yakin, rencana-Mu selalu terindah. Magda adalah titipan-Mu, Magda adalah anak-Mu. Tolong dia." Usai berdoa, aku segera berganti baju dan siap berangkat ke Tarutung.
Tak lama kemudian, telepon kembali berdering. Kali ini yang mengangkat bapakku. Katanya, aku tak perlu ke Tarutung, tapi ke Pematang Siantar saja. Magda sudah mendapat perawatan di Tarutung. Namun karena kondisinya yang cukup parah, ia mesti dibawa ke RS Siantar yang peralatannya lebih lengkap.
Saat itu, mobil ambulans yang membawa Magda baru saja melaju dari Tarutung. Untuk menuju Siantar, mobil akan melewati Balige. Nah, aku diminta menunggu di Balige saja. Demikian kabar terbaru yang disampaikan kawan Magda. Aku lalu diantar menuju Balige, yang berjarak sekitar 8 km dari rumah. Sekitar jam 17.00, dari kejauhan aku mendengar suara sirine ambulans.
Begitu ambulans berhenti, aku buru-buru masuk. Ambulans kembali melaju. Saat melihat Magda, aku langsung menangis. Rupanya, kondisinya parah. Ia sudah tak sadarkan diri. Untuk bernapas, ia mesti dibantu tabung oksigen. Sepanjang perjalanan menuju Siantar, aku teringat nasib keluargaku. Sejak Magda berusia 2,5 tahun, ia sudah ditinggal ayahnya yang kawin lagi.
Kala itu, anak sulungku berusia 4,5 tahun dan si bungsu baru 4 bulan. Aku dibantu kedua orangtuaku, berusaha membesarkan ketiga anakku. Mengenang nasibku, aku sempat protes kepada Tuhan. "Belum puaskah Kau, Tuhan? Sejak kecil Magda menderita. Setelah besar, masih pula Engkau memberi cobaan. Ambil saja nyawaku!"
Namun buru-buru aku sadar dan merasa telah berdosa protes kepada Tuhan. "Tuhan, ampuni aku. Maafkan aku. Aku yakin Tuhan begitu baik." Semangatku pun timbul lagi. Aku berjanji akan selalu menemani Magda. Aku akan berusaha semampuku agar Magda bisa disembuhkan.
Sekitar jam 20.00, sampailah kami di RS Vita Insani, Pematang Siantar. Magda langsung dimasukkan ke ICU dan mendapatkan perawatan. Kondisinya memang kritis. Kepada dokter kusampaikan, "Aku percaya dokter akan dipakai Tuhan untuk menyelamatkan Magda."
Hari berikutnya, Magda mesti menjalani transfusi darah. Saat itu, aku sudah mengalami keajaiban Tuhan. Betapa tidak, Magda butuh 1.000 cc darah atau butuh empat kantong darah. Aku mesti mencari ke PMI. Aku sempat bingung. Sebagai orang kampung di Balige, aku tak kenal wilayah Siantar. Di mana pula kucari alamat PMI? Di sisi lain, aku hanya bawa uang Rp800 ribu. Apakah cukup? Aku lalu teringat pendeta yang tinggal di Siantar.
Aku menelepon sang pendeta dan mengadukan nasib Magda. Ia memintaku tenang. Ia akan menghubungi beberapa mahasiswa yang bersedia mendonorkan darahnya. Benar saja, ada tiga mahasiswa yang golongan darahnya sama dengan Magda, segera datang ke RS. Transfusi darah pun berjalan lancar, tanpa aku banyak mengeluarkan biaya.
Dokter Indra, ahli penyakit saraf yang menangani Magda mengatakan, Magda mengalami cedera kepala berat. Hasil scanning mengungkapkan, tak ada perdarahan di otaknya. Namun Magda mengalami yang dalam bahasa kedokterannya disebut Dypus Axonal Injery, yaitu sel-sel saraf sudah cedera semua. Kondisi Magda disebutnya sadar, tapi tidak responsif. Organ tubuhnya melemah dan tak bisa mengenali lingkungannya.
Magda juga sudah menjalani operasi pemasangan pen di kaki kanannya yang patah. Operasi yang dilakukan berjalan lancar. Untuk menuju kesembuhan, memang sulit sekali. Andai bisa sembuh, semua karena Kuasa Tuhan. Tapi aku percaya betul pada mukjizat-Nya. Bukankah tak ada yang mustahil bagi Tuhan?
Aku pun mengalami berbagai keajaiban. Yang terutama tentu saja soal biaya. Namun berkat bantuan kerabat dan sahabat, semua biaya bisa diatasi. Pimpinan dan tim medis pun membantuku mengurus Jamkesmas. Sampai saat ini, semua biaya bisa diatasi. Memang, ada obat dan beberapa kebutuhan yang butuh biaya cukup besar, yang tak bisa diganti dengan Jamkesmas. Misalnya susu, vitamin, dan makanan yang cukup gizi.
Magda memang perlu asupan gizi tinggi. Untuk biaya-biaya lain itu, aku mendapat bantuan dari gereja. Aku percaya, banyak umat Tuhan yang membantu kesembuhan Magda. Terbukti, Tuhan tak pernah tidur. Sampai sekarang, Tuhan sendiri yang mencukupi kebutuhanku melalui banyak cara.
Buat aneka kerajinan
Aku merasakan, kondisi Magda meski pelan, menunjukkan perkembangan baik. Setelah 1,5 bulan di RS Vita Insani, Magda selanjutnya dirawat di RSUD Djasemen Saragih. Setelah tiga bulan, Magda berhasil melewati masa kritis. Ia sudah tak lagi di ICU. Namun saat itu kondisinya, maaf, seperti mayat hidup. Tak ada gerakan, tak bisa apa-apa. Beratnya pun terus menurun, sampai tinggal tulang saja.
Sudah begitu, biji matanya seperti keluar dan bola matanya yang hitam tak bisa bergerak. Orang yang melihat pun jadi takut. Kutanya kepada dokter tentang kondisi Magda. "Memang saraf begini, Bu. Sabar, ya." Ya, aku mesti sabar. Aku pun tak khawatir lagi, apalagi melihat Magda yang terus membaik.
Semula, ia mesti makan dengan bantuan selang. Tahun 2010, ia sudah bisa makan melalui mulut. Aku memberinya bubur, susu, dan jus. Memang butuh kesabaran. Sekali makan butuh waktu dua jam. Aku tak punya aktivitas lain kecuali terus menunggui Magda. Suatu hari di tahun 2010 itu, bapak saya menengok Magda. Melihat Magda yang sudah bisa makan, Bapak berencana membawakan buah avokad dari kampung.
Suatu hari, dalam perjalanan dari rumah menuju Siantar, mobil yang ditumpangi Bapak mengalami kecelakaan. Bapak pun mengalami luka berat dan meninggal saat itu juga, dengan buah avokad di tangannya. Jelas aku sedih sekali. Namun kembali semuanya kuserahkan kepada Tuhan. Aku terpaksa tak melayat saat Bapak dimakamkan di kampung halaman.
Magda tak bisa ditinggal. Aku antar Bapak dengan doa. "Tuhan, cobaan ini memang berat, namun aku akan terus menyerahkannya kepada-Mu." Kesedihan ditinggal Bapak, terhibur dengan perkembangan Magda. Dokter mengatakan, saraf Magda sudah ada gerakan. Matanya bisa terbuka. Lalu, ada gerakan kecil di kakinya. Mulai terdengar suaranya, seperti mengerang. Perkembangan berikutnya, ia menggeleng terus tak pernah berhenti.
Sampai-sampai yang menjenguk sempat berkomentar, Magda dirasuki setan. Aku hanya tersenyum mendengarnya. Dokter pernah mengatakan, nanti juga akan berhenti. Memang benar. Tahun berikutnya, ia tak lagi menggeleng-gelengkan kepalanya. Selain itu, bola matanya yang hitam sudah bisa bergerak ke kiri dan kanan. Tubuhnya yang tinggal tulang mulai berisi lagi. Lihat saja, ia sudah tampak segar.
Oh ya, apakah aku tak capek merawat Magda selama ini? Tentu saja tidak. Aku tidak letih menyuapinya, memandikannya, dan aku tak akan meninggalkannya. Apalagi, Tuhan tak pernah berhenti menemaniku. Terbukti, sekarang Tuhan memberiku aktivitas baru, yaitu membuat kerajinan. Sudah lebih dari setahun ini aku melakukannya.
Ceritanya, ada kawan yang mengajariku membuat kerajinan dari manik-manik. Aku diajari membuat kalung, gantungan kunci, dan lainnya. Aku cepat sekali mengerjakannya. Sekarang ini, sambil menunggu Magda, aku membuat aneka kerajinan. Ilmu membuat kerajinan pun makin bertambah. Selain aksesoris, aku bisa membuat hiasan dinding. Banyak teman yang bersedia memasarkannya. Hasilnya pun lumayan, bisa untuk tambahan membeli susu dan obat Magda. Luar biasa, bukan?
Aku masih akan terus menunggu Magda bangun. Aku percaya, Tuhan akan kembali menyempurnakan Magda seperti sedia kala. Tuhan, pakailah Magda sebagai kesaksian untuk memuliakan nama-Mu....
"Bagi Tuhan tak ada yang mustahil/ Bagi Tuhan tak ada yang tak mungkin/ Mukjizat Nya disediakan bagiku/ Ku diangkat dan dipulihkannya..."
Henry Ismono
KOMENTAR