Sudah siap menjalani seluruh prosesi pernikahan?
Pastinya sudah. Saya juga mulai menjaga stamina, makanan, dan berolahraga.
Senang, ya, akan segera bersanding dengan puteri keraton?
Ya, insya Allah Reni pendamping terbaik saya. Soal jodoh, saya hanya memohon kepada Tuhan agar diberi pendamping terbaik. Ternyata jodoh saya seorang putri keraton. Mimpi pun saya tak pernah.
Oh ya, mas kawinnya apa?
Seperangkat alat salat dan perhiasan.
(Pada kesempatan terpisah, Jeng Reni mengungkapkan, sebentuk cincin emas putih akan diberikan Ai, sapaan Jeng Reni untuk Ubai. Cincin itu bertatahkan berlian tunggal yang dipesannya secara khusus di sebuah toko perhiasan di Jogja. Berhubung dalam tradisi Jawa dan Islam tak ada tradisi pemberian cincin, "Biarlah nanti diberikannya setelah berduaan di kamar saja, ha..ha..ha.." ucap Jeng Reni.)
Kapan pertama kali diperkenalkan kepada Ngarsadalem HB X?
Ketika Ngarsadalem berulang tahun pada 2 April 2007.
(Jeng Reni juga mengatakan pada kesempatan terpisah, ia mengajak Ubai ke Jogja di suatu akhir pekan, saat keluarganya berkumpul untuk merayakan HUT ayahandanya. "Bapak terbuka dengan pasangan kami. Tak pernah mengomentari apa-apa. Cuma ngendika 'Oh, itu orangnya. Dia sopan, baik.' ya, sudah begitu saja.")
Perasaan Anda saat itu?
Saya tentu saja senang, karena itu artinya posisi hubungan kami sudah serius. Buktinya Reni mau memperkenalkan ke orangtuanya. Ada komentar Ngarsadalem untuk Anda?
Secara khusus tidak. Biasa saja, kami mengobrol saja.
Bisa cerita kembali soal lamaran?
Saya melamar tanggal 18 September, bertepatan dengan saat Reni ulang tahun ke 24. Reni menginformasikan ke saya agar tidak membawa apa pun. Saran itu saya ikuti.
(Ubai adalah putra bungsu (Alm) H. Jusami Ali Akbar yang berpulang pada 2001, pernah bekerja di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sedangkan ibunya, Hj. Nurbaiti Helmi BA, pensiunan Kementerian Agama. Orangtua Ubai berasal dari Lampung. Namun, Ubai lahir di Jakarta. Ketika dilantik menjadi KPH. Yudanegara, ia didampingi mantan Gubernur Lampung Tursandi yang sudah dianggap sebagai orangtuanya.)
Dekat sekali. Bukan hanya dengan Ngarsadalem, dengan ibu Ratu Hemas dan romo-romo lain (adik-adik Sultan HB X, Red.) juga dekat. Kami, kan, akan menjadi keluarga. Saya akan jadi anak Ngarsadalem juga, praktis kedekatan kami layaknya anak dengan orangtua harus terjadi.
Bagaimana rasanya kini tiba-tiba jadi pusat perhatian?
Kaget. Tapi saya sadar, ini harus dijalani. Saya tahu Ngarsadalem itu seorang tokoh. Saya sadar jadi pusat perhatian seusai pelantikan gelar dan nama baru saya menjadi KPH. Yudanegara.
Apa reaksi rekan kerja saat tahu Anda calon menantu Sultan HB X?
Saya tak pernah menginformasikan berpacaran dengan siapa ke teman-teman kantor. Begitu mereka tahu saya dilantik dengan nama dan gelar baru, mereka kaget. Sebelumnya, Reni memang sering main ke kantor saya, tapi mereka tak menyangka Reni putrinya Sultan. "Lho, Reni putrinya Sultan, tho?", begitu komentarnya. Mereka tak menyangka Reni putri Sultan karena orangnya sederhana, tak neko-neko.
Cerita lainnya?
Pernah, waktu saya ikut diklat di Jatinangor, Bandung (Jabar) pada Februari 2011, kami diharuskan membuat tugas di Jogja. Ketika tiba acara shopping, Reni mengantar kami ke Beringharjo. Dia ikut menawar barang pakai bahasa Jawa. Teman-teman tak ada yang tahu bahwa yang menemani belanja itu putri Sultan. Nah, tanggal 7 Juli 2011, ada berita di situs online memberitakan hubungan saya dengan Reni, kontan mereka kaget. Surprise, Reni putrinya Sultan.
Soal nama dan gelar baru Anda, keluarga dan rekan kerja sudah familiar?
Familiar, sih, belum. Tapi kadang-ladang pas iseng, mereka suka guyon, memanggil saya 'Pangeran! Pangeran!'. Kalau ibu saya, kadang memanggil Yudo atau Ubai.
Anda sendiri, bagaimana?
Saya mulai terbiasa. Sejak dilantik, saya sudah membiasakan diri dengan nama itu. Menyandang gelar KPH dan nama Yudanegara, mau tak mau beban juga. Tapi, ya, harus saya jalani.
Enggak. Itu cuma nama saja. Saya hanya menambahkan nama jadi Ahmad Ubaidillah Yudanegara.
Oh ya, bagaimana perjalanan karier Anda?
Saya lahir di Jakarta 26 Oktober 1981. Memulai karier pada 2002, sebagai pegawai negeri di Depdagri. Lalu, kuliah lagi S2 di IIP (Institut Ilmu Pemerintahan) di Ampera, Jakarta. Setelah lulus, saya jadi ajudan Gubernur Lampung pada 2003. Dua tahun kemudian saya kembali ke Depdagri, jadi Protokol Mendagri. Setahun kemudian saya pindah ke Direktorat Pejabat Negara. Tahun 2007 saya jadi ajudan Seswapres Pak Tursandi yang juga mantan Gubernur Lampung. Maret 2011 saya dilantik jadi Kepala Sub Bidang Komunikasi Politik Bidang Media Cetak, sampai sekarang.
Sebelum berjodoh dengan Jeng Reni, Anda pernah punya pacar. Apakah akan diundang ke pernikahan?
Itu sedang saya komunikasikan dengan Reni. Kalau Reni bilang, undang, ya, diundang. Kalau Reni merasa ada hal yang tak mengenakkan, ya, tak diundang. Saya demokratis saja, biar sama-sama enak.
Rumah tangga seperti apa yang akan dibangun dengan Jeng Reni?
Ya, rumah tangga yang sakinah, mawadah, warahmah (tenang, cinta-kasih, saling mengerti dan megasihi, Red.) Kami berencana setelah menikah akan tinggal di Jakarta. Tapi saya menegaskan ke Reni, keraton tetap prioritas utama. Setelah bicara bersama Reni, mungkin kami akan tinggal di apartemen di kawasan Kemang. Biar praktis. Kepala keluarga tetap saya, meski gelarnya lebih tinggi Reni.
Rencana ingin punya berapa buah hati?
Ikut anjuran pemerintah saja. Dua anak cukup. Saya sudah membicarakan hal ini dengan Reni. Mohon doanya, ya, semoga semua lancar. Amin.
Rini Sulistyati
KOMENTAR