Sepanjang acara jumpa pers yang diadakan Solidaritas Perempuan (SP), Rabu (1/6) siang, di kantor SP di bilangan Pasar Minggu, mulut Muhtadin Jalil (60) selalu terkatup. Padahal di undangan jumpa pers ayah dari Rosita Siti Saadah, TKW asal Karawang yang bekerja di Fujariah, Uni Emirat Arab (UEA) dan saat ini sedang menunggu putusan hakim ini menjadi salah satu narasumber.
Ya, tepat di hari perayaan Kesaktian Pancasila ini, SP sengaja menggelar jumpa pers soal kasus yang menimpa Ros, panggilan Rosita. Pihak keluarga, yang diwakili SP mendesak pemerintah Indonesia agar segera membebaskan ibu seorang bocah ini. "Rosita diperlakukan tidak adil. Dia tidak bersalah, tapi sampai sekarang masih ditahan di Fujuriah," kata Risma Umar, ketua SP membuka acara ini.
Kebingungan soal nasib anak sulungnya itulah yang membuat buruh penebang bambu ini tak bisa bicara di depan para wartawan. Barulah setelah usai acara, kepada NOVA Muhtadin bisa menceritakan nasib Ros yang sejak dua tahun menjadi TKW di UEA. "Baru sekitar 6 bulan bekerja sudah mendapat musibah seperti ini," kata Muhtadin. Selebihnya, Ros harus tinggal di penjara Fujariah.
MENUNGGU KEAJAIBAN
Kabar Ros dipenjara datang tak disengaja. "Setelah enam bulan dipenjara, Ros bingung akan nasibnya tak jelas. Dia dipenjara tapi merasa tak berbuat salah," papar Oon Ratna, bibi Ros yang ikut mendampingi kakak iparnya. Apalagi, tak ada satu pun perwakilan dari pemerintah maupun perusahaan yang memberangkatkan Ros menjenguk atau mendampingi.
Dalam kebingungan itu, Ros ingat nomor telepon Atik, salah satu bibi yang kerja di Emirat Arab. "Saat telepon, Ros menangis, meratapi nasibnya. Dia sekarang dipenjara lantaran dituduh bersekongkol dengan anak majikannya membunuh sesama TKW yang juga bekerja di rumah majikannya."
Kabar buruk itu langsung disampaikan ke keluarga Ros di Karawang. Sayang, keluarga tak langsung bereaksi. "Kami sebenarnya sudah tahu nasib Ros demikian itu sejak setahun lalu. Tapi kami tak tahu harus berbuat apa. Mau melapor kemana kami tak tahu."
Keluarga Ros, kata Ratna seakan hanya menunggu keajaiban. "Ya, maklumlah kami orang kampung. Enggak tahu harus berbuat apa," jelas Ratna. Sebagai gambaran, rumah keluarga Ros di Desa Cikrak, Cinta Langgeng, Karawang masuk wilayah pinggiran selatan kabupaten yang dikenal sebagai lumbung padi dan TKW ini. Jarak dari kota Karawang sekitar 40 km. "Keluarga hanya bisa berdoa. Habis mau lapor ke mana?," sela Muhtadin seakan menandaskan keterangan adik iparnya.
IDENTITAS DIRAHASIKAN
Tuhan akhirnya membukakan jalan. Setelah berbulan-bulan kabar ini mengendap, suatu hari Oon bertemu dengan temannya yang punya akses di Konjen Uni Emirat Arab. "Saya minta tolong untuk mengecek kabar tersebut. Ternyata benar, Konjem UEA memastikan, Ros ditahan di LP Fujariah," papar Ratna. Fujirah adalah salah satu kota pesisir di UEA.
Temuan Konjen ini akhirnya dilaporkan Kemenlu di jakarta. "Dari Kemenlu akhirnya kami sedikit punya informasi soal nasib Ros."Anehnya sejak nasib Ros terbuka, Ros mulai bisa menghubungi keluarga. Hanya saja yang membuat keluarga masih binggung, informasi yang didapat dari Kemlu, Ros sudah didampingi pengacara dan penerjemah. Tapi setiap kali telepon rumah, Ros mengaku berjuang sendiri dan tak tahu nasibnya bagaimana. "Kalau telepon pasti sambil nangis-nangis. Mungkin selain bingung ia juga sudah kangen ke anaknya."
Ratna menduga, Ros tidak mendapat perhatian dari pemerintah karena jarak antara Abu Dabi ke Fujariah cukup jauh. "Tapi itu sebenarnya bukan alasan pemerintah untuk tidak memperhatikan warganya yang kena kasus pidana. Apalagi Ros benar-benar tidak bersalah," tandas Dadang , dari Solidaritas Buruh Migran Karawang.
Dari cerita Ros kepada keluarga, lanjut Dadang, sebenarnya Ros itu korban, bukan pelaku. Pasalnya, Ros sebelumnya juga mengalami "kekerasan" oleh anak majikannya. "Sama seperti temannya yang dibunuh itu." Demi menjaga martabat Ros maupun temannya yang dibunuh, Dadang maupun keluarganya tak bersedia menjelaskan apa bentuk kekerasan itu. "Anda semua pasti sudah tahu lah."
Begitu juga soal identitas TKW yang dibunuh, Dadang sengaja merahasikan. "Kami sebenarnya tahu. Tapi pihak keluarga berpesan jangan sampai identitas korban dipublikasikan. Begitu juga apa motif di balik pembunuhan itu. Biarlah itu menjadi rahasia Ros." Yang jelas korban adalah TKW dari Indonesia. Pihaknya mengaku sudah bertemu dengan keluarganya.
Peran Ros kata Dadang sebenarnya hanya satu. Ia yang membukakan pintu saat anak majikan, adik majikan, dan seorang temannya masuk ke rumah. "Begitu berhasil masuk, ketiganya langsung membunuh teman Ros," kata Dadang yang sampai sekarang belum tahu bagaimana proses pembunuhan itu. Setelah kejadian itu, Ros langsung lapor polisi. "Ternyata dia juga dilaporkan majikannya ikut bersekongkol dengan anaknya."
Itu sebabnya, selain menahan ketiga orang tersebut, polisi juga menahan Ros yang dituduh ikut bersekongkol. "Logikanya kan, enggak masuk. Ros kan sama-sama menjadi korban. Dan dia hanya membukakan pintu. Dan yang masuk pun bukan orang lain, melainkan anak dan adik majikan. Itulah yang membuat kami binggung, kenapa Ros ditahan."
Penahanan Ros, lanjut Dadang, bisa jadi karena selama proses persidangan Ros tak didampingi pengacara maupun penerjemah. "Makanya dia diancam hukum pancung. Padahal keluarga korban saat bersaksi di pengadilan, menjelaskan Ros tidak bersalah. Kalau toh bersalah, sudah memaafkan."
Memang Ros beberapa hari lalu mengabarkan jika ia tak terbukti bersalah. Tapi kabar gembira itu tak langsung disambut suka-cita keluarga. "Kalau tidak bersalah, kenapa sampai sekarang dia masih ditahan? Makanya kami menuntut, Ros segera dibebaskan dan diberikan hak-haknya sebagai pekerja," tandas Ratna berapi-api.
Ros di mata Muhtadin anak yang sangat baik. Di usia 15 tahun ia harus menggantikan posisi ibunya yang meninggal mendadak. "Dia waktu itu yang mengurus rumah tangga karena adik-adiknya masih kecil." Ros pula yang membersihkan rumah, memasak, mencuci baju adik-adiknya. "Pokoknya semua pekerjaan rumah Ros yang urus. Saya, kan, kerja di luar sebagai buruh penebang bambu," kata Muhtadin yang sehari dapat upah Rp 15 ribu. "Ros juga yang mengatur keuangan."
Lantaran sibuk mengurus rumah tangga, anak sulung tiga bersaudara ini termasuk "telat nikah" dibanding teman-teman seusianya. "Mungkin dia enggak tega menikah karena adik-adiknya masih kecil. Makanya teman-temannya sudha punya anak, Ros baru menikah di usia 25 tahun."
Sejak menikah Ros tinggal bersama mertuanya di kampung Waru, Warga Setia, Karawang. Hanya saja, tiap pagi Ros masih nyembangi rumah untuk membereskan pekerjaan rumah. "Kebetulan, kan, jaraknya enggak jauh. Paling hanya 500 meter."
Sayangnya setelah menikah, ekonomi Ros belum ada peningkatan. "Suaminya hanya kerja sopir. Itu saja tidak tentu. Ros sendiri hanya di rumah." Lantaran ingin mengubah nasib, Ros kepincut teman-teman kampungnya menjadi TKW. Tahun 2005 lalu, Ros rela meninggalkan anaknya Ridho yang kala itu baru berumur setahun. Ros pergi ke Arab Saudi menjadi TKW.
Beruntung di negeri minyak itu, Ros mendapat majikan yang baik. "Ia sudah dianggap sebagai keluarga sendiri." Setelah habis kontrak, Ros pulang dengan membawa segepok uang. "Ia akhirnya bisa membangun rumah. Ya, tidak mewah sih. Tapi cukup lah untuk ukuran orang kampung. Yang penting tidak ngontrak atau menumpang di mertuanya lagi."
Ros, kata Muhtadin juga membagi-bagi rezeki untuk keluarganya. "Adik-adiknya dibelikan baju dan dikasih uang untuk bayar SPP. Sementara saya dikasih Rp 400 ribu."
SEKALI KIRIM UANG
Setahun di rumah, membuat Ros tak betah. "Mungkin juga karena uang hasil kerja di Arab sudah habis untuk membangun rumah. Makanya ia pengen ajdi TKW lagi." Nah kepergian kedua itu membuat Ridhlo selalu rewel. "Anaknya tak boleh Ros jadi TKW lagi," jelas Muhtadin. Tapi keadaan yang memaksa Ros harus menjadi TKW lagi.
Kali ini Ros tak ingin balik ke majikan lama. Ia ingin mencari suasana baru di UEA. "Kalau di Arab, untuk ketemu majikan pria saja ia harus tutup muka. Makanya ia memilih UEA yang lebih modern pergaulannya. Ya sekalian, mencari pengalaman baru."
Sayang nasib Ros tak sebagus saat di Arab Saudi. Ia mendapatkan majikan yang suka "menyiksa". Dan ujung-ujungnya ia harus mendekam di penjara dengan ancaman hukum pancung. Ya, Rosita belum sempat mengisi rumah dengan perabotan hasil kerja di UEA. Ros hanya sempat sekali mengirim uang ke suaminya sebesar Rp 1,2 juta. Uang itu untuk keperluan lebaran.
Sukrisna
KOMENTAR