Penyakit aneh yang diderita Dora semakin memburuk sejak Oktober tahun lalu. Hampir setiap tiga jam sekali, darah mengucur deras dari pori-pori kulit kepala gadis berambut cepak ini. "Kalau sudah begitu, kepala rasanya mau pecah. Saya sampai stres merasakannya," katanya sambil tergolek lemah di ranjang. Ia makin stres karena dokter dan rumah sakit belum tahu, apa persisnya penyakit yang dideritanya.
Diagnosa awal, Dora diduga menderita sakit lambung karena setiap penyakitnya datang, ia pasti muntah-muntah hebat. Saking anehnya penyakitnya, "Saya malah makin penasaran. Pernah saya coba siram kepala dengan air, siapa tahu ada yang bocor. Ternyata tidak ada juga," tutur gadis tomboi ini.
Celakanya, belakangan ini darah tak hanya mengucur deras dari pori-pori kepala, tapi juga keluar dari telinga, mulut, dan hidung Dora. "Saya tak kuat lagi. Duduk dua menit saja, pandangan sudah kabur. Sempat dibawa ke dokter dan pengobatan alternatif, tapi tetap tak ada yang bisa menjelaskan penyakit ini," tutur Dora.
Nyaris putus asa karena kehabisan dana untuk berobat, Dora yang saat ini tercatat sebagai mahasiswi di Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta (UBH), Padang, menceritakan perihal penyakitnya kepada salah satu dosennya. "Tak disangka, beliau cerita ke dekan. Merekalah yang merujuk saya masuk RSUP M Djamil." Alhasil, sejak Sabtu (21/5) Dora dirawat secara intensif.
Memang, awalnya Dora ragu-ragu dirawat. "Masalahnya, siapa yang akan memenuhi kebutuhan rumah tangga dan uang sekolah untuk adik-adik?" tanya Dora. Sehari-hari, ia memang berperan sebagai tulang punggung keluarga. Sejak orangtuanya berpisah di tahun 2002, Dora mengaku kehidupannya dan dua adiknya jadi tak tentu. Padahal, sebelum perpisahan itu terjadi, keluarga Dora hidup berkecukupan di Medan. "Kami punya dua mobil. Mama dan Papa juga selalu rukun dan damai," ucapnya menerawang. Setelah orangtuanya berpisah, "Keluarga tak ada yang peduli, semua cuek pada kami." Apalagi, tuturnya, setelah perpisahan itu, Sang Ayah meninggalkan keluarga mereka begitu saja.
Sebagai anak sulung, Dora merasa terpanggil untuk menanggung kehidupan adik-adiknya. Begitu tamat SMA di Medan tahun 2003, Dora langsung merantau ke Batam. Di kota ini ia bekerja di sebuah pabrik elektronik sebagai operator mesin. Suatu hari, saking lelahnya bekerja, Dora terjatuh dari lantai dua dengan kepala membentur sejumlah anak tangga. "Karena kejadian itu, Mama menyuruh pulang ke Padang."
Peristiwa jatuh dari tangga rupanya tak menyurutkan niat Dora untuk terus bekerja. Kembali ke Padang, Dora mulai bekerja serabutan. "Apa saja lah, yang penting halal. Saya pernah jadi petugas cleaning service dan sekuriti di PLTD Pauh Limo. Biasanya saya menggantikan petugas yang sedang berhalangan atau kalau ada yang sedang pergi main voli, saya yang gantikan."
Tanggung jawab Dora pada adik-adiknya semakin besar setelah ibunya meninggal dunia tahun 2007. Kini, Dora menanggung kehidupan empat orang. "Adik saya Dwi, kini sekolah di Medan. Di Padang, saya mengontrak rumah bersama Doni dan dua sepupu," lanjut Dora. Doni yang berusia 17 tahun saat ini duduk di bangku SMA.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Dora pun dipaksa untuk bekerja lebih keras lagi. Selama ini, dari bekerja sebagai petugas cleaning service dan sekuriti, Dora bisa menghasilkan Rp 2 juta per bulan. "Tapi untuk sekali berobat saja, bisa habis Rp 500 ribu," keluhnya.
Pekerjaan kasar yang dilakoni Dora tak urung menimbulkan pandangan miring dari saudaranya. "Pernah, di acara keluarga, ada yang nyeletuk menghina saya. Katanya, kerja jadi cleaning service itu pekerjaan sampah. Sakit sekali hati ini," ujarnya. Sejak menerima penghinaan itu, niat kuat untuk melanjutkan kuliah tertanam di benak Dora.
Ia lantas mendaftarkan diri di Fakultas Hukum UBH. "Saya kuliah untuk memperbaiki nasib. Cita-cita saya memang jadi pengacara, biar bisa menolong orang-orang tak beruntung seperti saya."
Dengan keputusannya untuk kuliah, Dora pun siap menanggung konsekuensinya. Dia harus bekerja lebih keras lagi. Untuk itu, ia menambah pekerjaan sebagai tukang ojek. Untuk melakukan berbagai pekerjaan kasar itu, Dora mengubah penampilannya. Ia berpakaian layaknya lelaki. "Ya, hanya pekerjaan seperti itu yang bisa saya lakukan. Kalau mau kerja di kantoran, saya tak punya relasi," tukas Dora.
Setiap hari, sejak pukul 07.00 hingga 15.00, Dora kuliah dilanjutkan dengan bekerja sebagai petugas cleaning service. Selanjutnya, ia bertugas sebagai sekuriti hingga pukul 24.00. Setelah itu, ia mengojek hingga subuh menjelang. Setiap hari pula, Dora hanya punya waktu sekitar 2-3 jam untuk tidur. Rasa malu ditepisnya kuat-kuat. "Sering juga saya ngojek-in teman sendiri. Kadang ada juga penumpang yang baik hati memberi uang kembalian ojek buat saya. Sayang, sejak sakit-sakitan, saya tak bisa ngojek lagi."
Saat ini Dora yang masih tergolek lemah di RS hanya bisa berharap penyakitnya segera sembuh. Paling tidak, harapnya, dokter akan segera mengetahui nama penyakit yang dideritanya. Semangatnya untuk sehat kembali masih begitu besar. "Saya harus sembuh! Saya ingin melanjutkan kuliah dan jadi sarjana agar orang tak mencemooh saya lagi. Doakan, ya."
Apa gerangan persisnya penyakit Dora, belum jelas benar. Dokter yang kini menangani perempuan perkasa itu, Irza Wahid SpPD, berujar, kasus perdarahan yang keluar dari kulit kepala adalah kasus pertama di Indonesia. "Masih kami periksa. Sampel darah Dora juga dikirim ke laborarium di Jakarta karena keterbatasan peralatan di RS M Djamil. Tapi jenis penyakit Dora ini, sebenarnya sama dengan perdarahan yang tak normal atau tidak lazim."
Soal penyembuhannya, kata Irza, tergantung etiologinya yang masih harus ditelusuri dari hasil laboratorium dari Jakarta. Yang pasti, katanya, "Tak ada kaitannya dengan peristiwa jatuhnya Dora dari lantai dua dulu."
Debbi Safinaz
KOMENTAR