Setelah lulus kuliah, bekerja di mana, sih?
Saya langsung praktik di Lembaga Psikologi Terapan-UI bagi anak dan remaja. Saya juga jadi psikolog sekolah di sekolah Adik Irma di Tebet, Jakarta Selatan, setiap Sabtu, sedangkan hari kerja di HRD stasiun teve. Selain tidak betah, saya mengundurkan diri dari stasiun teve juga karena melahirkan. Karena kebetulan psikolog, saya jadi tahu banyak tentang perkembangan anak, bagaimana kalau anak hanya bertemu ibu saat malam hari sepulang ibunya bekerja, dan sebagainya. Jadi, saya memilih resign.
Meski mengundurkan diri dari pekerjaan tetap, pekerjaan sebagai psikolog sekolah di sekolah-sekolah mulai dari TK sampai SMA terus jalan, antara lain di Sekolah Adik Irma, Sekolah Cikal, Kinderfield, Sekolah Pilar Indonesia, Sekolah Al Fauzien, dan Sekolah Tunas Global. Sempat juga menulis buku, yaitu Tanya Jawab Seputar Perkembangan Anak.
Lama menghadapi anak-anak di sekolah, apa yang Anda lihat dari permasalahan mereka?
Kalau sekarang, saya lihat mereka sedang banyak dipengaruhi gadget, dan pengaruhnya enggak bagus, baik dalam hal belajar maupun sosialisasi. Pengaruh buruk dalam hal belajar antara lain dari sisi konsentrasi, fokus mudah terganggu. Belum lagi mereka jadi belajar hal-hal negatif. Menurut saya, banyak anak yang kebablasan dalam penggunaan gadget. Orangtua biasanya terlena, karena gadget dianggap bisa menenangkan anak. Ketika mereka tahu, dampak negatifnya biasanya sudah telanjur muncul.
Ada banyak kasus yang datang, salah satunya anak usia 4,5 tahun yang mengalami gangguan fokus dan gangguan bicara karena terlalu sering bermain gadget. Pada remaja, lebih bahaya lagi. Penggunaan media sosial yang lebih mengarah ke hal negatif, misalnya membuka konten yang sebetulnya tidak sesuai dengan usia mereka, dan lainnya. Ini bahkan banyak ditemukan pada anak-anak dengan usia yang lebih muda.
Seberapa memprihatinkan permasalahan anak terkait gadget ini?
Sangat memprihatinkan. Ini terlepas dari masalah-masalah klasik, seperti orangtua kurang mengerti kebutuhan dan kurang perhatian pada anak, dan lainnya. Namun, gadget selalu ada dalam masalah itu, karena begitu tidak ada orangtua sebagai teman ngobrol, anak akan lari ke gadget. Atau, ketika orangtua saling ribut, anak juga akan lari ke gadget. Tidak bisa dipungkiri, gadget sekarang menempel pada kita, ibarat baju.
Saya melihat, orangtua kurang berhati-hati dan cermat pada awalnya ketika memberikan gadget pada anak. Langkah awal memang sangat menentukan. Ketika orangtua mengatakan bahwa anaknya membutuhkan gadget, seharusnya dilihat lagi gadget seperti apa yang dibutuhkan anaknya.
Misalnya?
Umpamanya, anak hanya butuh gadget untuk menelepon dan SMS untuk urusan jemput sekolah. Berarti yang dibeli, ya, gadget yang khusus untuk itu, tidak perlu untuk lainnya. Lalu, orangtua juga harus tegas soal aturan main. Kapan diperbolehkan, konten apa saja yang boleh dilihat, aplikasi apa saja yang boleh ada di gadget anak, dan sebagainya. Terkadang, orangtua diam saja melihat gadget anak diisi game,
karena menganggap itu sekadar permainan.
KOMENTAR