Ya. Namanya time for alone. Saya meluangkan waktu 10-15 menit setiap hari untuk setiap anak. Mirip nge-date, gitu. Di luar itu, ada juga waktu untuk beramai-ramai dengan kedua anak dan suami. Namun, karena yang sulung sudah makin sibuk, waktu untuk nge-date sama dia sudah mulai susah. Paling-paling, saya curi waktu saat dia bangun pagi atau menjelang tidur malam. Sambil saya peluk atau elus, kami mengobrol apa saja.
Dulu, biasanya saya bercerita tentang keseharian saya atau apa yang saya alami ketika tidak bersama mereka. Jadi, akhirnya mereka meniru, menceritakan apa yang mereka rasakan dan alami di sekolah. Syukurlah, kedua anak saya sudah bisa minta waktu khusus pada saya untuk membicarakan sesuatu yang menurut mereka penting. Nah, karena yang sulung sudah mulai remaja, saya wanti-wanti agar kalau ada apa-apa, saya minta ngomong. Terkadang, saya juga baca gerak-gerik anak untuk tahu apa yang sedang mereka rasakan.
Ada kesepakatan khusus soal waktu bersama keluarga?
Karena tiap hari saya antar-jemput anak, pasti setiap hari bareng mereka. Namun, kalau weekend, terkadang ada pekerjaan yang tidak bisa saya tinggal. Bersama anak-anak dan suami, Kukuh Komandoko Hadiwidjojo, saya akhirnya bikin kesepakatan, kalau Sabtu ini saya kerja, misalnya, Sabtu depan tidak boleh. Jadi, selang-seling. Hari Minggu sebisa mungkin tidak ada pekerjaan. Kami juga menerapkan harus ada acara makan siang atau malam bersama setiap Sabtu atau Minggu. Ini berlaku sampai anak-anak punya pacar. Ha ha ha. Kalau hari biasa, paling-paling sarapan saja yang bisa bareng, itu pun sebentar.
Menurut Anda, apa yang menjadi pencapaian terbesar Anda dalam hidup?
Menjadi ibu. Sebab, tantangannya banyak dan dibutuhkan kemampuan untuk mengelola emosi, otak, serta time management yang baik. Tidak ada yang bisa mengalahkan tugas seorang ibu. Oleh karena itu, menjadi ibu adalah pekerjaan utama saya. Apa pun yang saya lakukan, termasuk dalam bekerja, arahnya adalah agar saya bisa menjadi ibu yang lebih baik untuk anak-anak. Kalau saya tugas ke luar kota, misalnya, anak-anak tidak boleh terlalaikan. Pengalaman orang lain saat melakukan konseling, juga saya jadikan pelajaran untuk mendidik anak-anak. Lantaran sudah menjadi ibu, saya berusaha semaksimal mungkin mendidik mereka agar menjadi sesuai harapan, yaitu agar mereka bahagia.
Untuk mengapresiasi diri sendiri, saya biasanya melakukan me time, antara lain nonton serial teve favorit saya sendirian, ke salon atau jalan-jalan ke mal sendiri kalau ada waktu. Yang paling sering adalah menyetir mobil sendirian sambil mendengarkan musik. Itulah me time yang paling sering saya lakukan setiap hari. Itu sebabnya, saya lebih suka menyetir sendiri.
Apa saja kegiatan Anda sekarang?
Masih tetap praktik di LPT-UI, juga klinik terapi Anak Mandiri, dan psikolog sekolah di Sekolah Kepompong. Selain itu, juga jadi pembicara seminar, menulis untuk majalah, acara talkshow di radio seminggu sekali, tim ahli untuk sebuah produsen susu, juga untuk perusahaan mainan asal Amerika.
Bagaimana ceritanya menjadi konsultan produsen susu dan perusahaan mainan?
Untuk produsen susu, sekitar mulai tahun 2005 ada semacam open recruitment untuk psikolog dari mereka, untuk acara seminar yang akan mereka adakan. Infonya didapat dari dosen saya dulu. Para pelamar berkumpul di rumah Prof. Sarlito Wirawan Sarwono (alm) untuk melakukan semacam audisi. Topiknya dipilih secara acak, lalu setiap peserta diminta presentasi sesuai topik selama tiga menit. Alhamdulillah, saya dan beberapa teman lolos. Sejak itulah, saya kerap diminta jadi pembicara seminar mereka sampai sekarang.
Nah, suatu hari saya dihubungi perusahaan mainan asal Amerika dan ditawari menjadi konsultan mereka di Indonesia. Tentu saja saya senang banget, karena saya tahu, setiap mereka bikin acara, mainan produksi mereka disebar agar anak-anak yang diajak orangtuanya bisa bermain sepuasnya. Saya mengobrol dengan para orangtua sambil duduk di antara mainan itu. Saya diajak ke New York untuk melihat langsung laboratorium mainan mereka.
Sebagai psikolog, apa harapan Anda terhadap para orangtua?
Di kota besar, masyarakatnya sekarang sudah lebih mudah berpikiran terbuka terhadap pola pengasuhan anak, tapi di daerah masih belum banyak. Saya harap orangtua harus lebih mengenali tahapan perkembangan anaknya, jadi tidak ada lagi orangtua yang emosi, menyiksa, memukuli, atau membahayakan anaknya karena menganggap anaknya nakal dan tidak bisa diam. Kalau anak umur dua tahun memang sedang masanya tidak bisa diam atau sebentar-sebentar menangis. Saya ingin orangtua punya pemahaman yang lebih baik terhadap perkembangan anaknya, sehingga pola pengasuhannya juga bisa lebih tepat.
Hasuna Daylailatu
KOMENTAR