NOVA.id - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tengah merampungkan pembaruan ke-11 untuk International Classification of Diseases (ICD).
ICD merupakan panduan berbagai masalah kesehatan dan gejalanya.
Versi konsep terbaru dari ICD ini untuk pertama kalinya akan memasukkan masalah “gangguan permainan" atau gaming disorder ini dalam salah satu penyakit gangguan mental, seperti yang dilaporkan Forbes.
Baca juga: Per Januari 2018, Daftar Smartphone Ini Tak Lagi Bisa Pakai Aplikasi Whatsapp
Gangguan ini ditandai dengan "perilaku main game yang terus-menerus atau berulang" yang membuat permainan menjadi lebih penting daripada aktivitas lainnya.
“Terdapat pola perilaku yang memiliki tingkat kerusakan yang menghasilkan gangguan signifikan pada area fungsi pribadi, keluarga, sosial, pendidikan, pekerjaan, atau area penting lainnya," begitu menurut penjelasan dari gagguan tersebut.
ICD versi baru ini akan dirampungkan tahun depan dan jika gangguan main game disertakan, maka untuk pertama gaming disorder ini akan diakui oleh WHO sebagai salah satu gangguan mental.
Baca juga: Keasyikan Main Gadget, Mobil Rombongan Ibu-Ibu Ini Terjun Bebas ke Kolam Kangkung
Sampai saat ini, memang kecanduan main game, belum diakui secara formal sebagai masalah kesehatan oleh para ahli.
Kecanduan game parah biasanya terjadi tertutama dari game-game video yang eksesif atau game dengan genre kekerasan eksplisit.
American Psychiatric Association pernah menyebut, "gangguan main game internet", namun masih diperlukan lebih banyak penelitian sebelum dapat diakui secara formal, begitu menurut laporan CNN.
Kendati demikian, banyak peneliti telah mengindikasikan bahwa sebagian besar pemain video game memicu kecanduan.
Baca juga: Kepergok Sendirian di Bandara, Jennifer Dunn Mendapat Cibiran Hingga Beragam Spekulasi dari Warganet
Memang, pusat perawatan yang diperuntukkan untuk orang-orang yang kecanduan pada permainan game sudah ada.
Ada juga kelompok self-help On-Line Gamers Anonymous, yang diawali oleh seorang perempuan yang percaya anaknya melakukan bunuh diri sebagai akibat kecanduan main game.
Sementara pilihan pengobatan formal juga ada. Namun harganya mahal karena banyak perusahaan asuransi tidak akan melindungi mereka.
Baca juga: Disebut-sebut Selingkuh dengan Raffi Ahmad, Ternyata Nagita dan Ayu Ting Ting Dulu Sedekat Ini Loh
Sebab, kecanduan game bukanlah masalah yang diakui secara formal, demikian menurut Washington Post.
Sampai batas tertentu, kecanduan main game bisa menjadi cerminan ketergantungan masyarakat terhadap teknologi.
Hampir dua dari lima generasi milenial mengatakan mereka berinteraksi dengan ponsel mereka lebih sering daripada orang yang mereka cintai.
Bukan hanya anak-anak yang menjadi kecanduan—orang tua dengan anak-anak berusia antara 8 hingga 18 tahun menghabiskan lebih dari 9 jam sehari dengan gawai mereka.
Demikian menurut sebuah laporan dari Common Sense Media, sebuah organisasi berbasis di San Francisco yang memeriksa dampak teknologi dan media terhadap keluarga.
Tidak semua orang setuju
Beberapa peneliti di komunitas kesehatan mental berpendapat bahwa dengan cepat memformalkan kecanduan main game sebagai masalah kesehatan bisa berbahaya.
Awal tahun ini, periset dari American Psychological Associations mengkritik upaya WHO dan American Psychiatric Association untuk mengodifikasi gangguan ini— sebagian karena tujuan akhir tersebut adalah memengaruhi penelitian tentang masalah yang disebabkan oleh permainan game yang berlebihan.
Para periset berpendapat bahwa penelitian terkini mengenai kecanduan main game didasarkan pada prinsip pendekatan penyalahgunaan obat-obatan terlarang, walaupun faktanya penggunaan narkoba atau alkohol berbeda dengan konsumsi media.
Baca juga: Duh! Gadis Ini Alami Kebutaan Usai Main Game di Gadget Selama 24 Jam
Lebih jauh lagi, penelitian yang ada tentang kecanduan main game belum meyakinkan, menurut Anthony M Bean, seorang psikolog klinis berbasis di Texas dan salah satu penulis laporan tersebut kepada situs berita game Polygon.
"Di seluruh bidang 'kecanduan main game', rentang kejadiannya berkisar antara 0,8 persen sampai 50 persen dari populasi game yang ada, bergantung pada studi mana yang Anda putuskan untuk dilihat," kata Bean kepada Polygon.
Bean juga mengingatkan bahwa menciptakan "gangguan main game" bisa menstigmatisasi orang yang sedang memainkan game, terlepas dari kenyataan bahwa bagi sebagian orang, game bisa sangat membantu.
Baca juga: Anak Durhaka! Tega Pukul Ibunya Karena Merasa Terganggu Saat Main Game
Bermain Tetris, misalnya, telah terbukti membantu gejala gangguan stres pascatrauma.
"Mungkin orang tersebut benar-benar depresi dan menggunakan permainan game sebagai mekanisme penanggulangan, atau mekanisme untuk mengatasi beberapa tekanan pribadi di kehidupan nyata,” katanya.
Namun, game yang berlebihan bisa menjadi indikasi masalah kesehatan mental lainnya, seperti depresi atau kecemasan.
Memang, beberapa ilmuwan percaya bahwa permainan video dapat dirancang sebagai alat pengajaran atau untuk membantu orang meningkatkan keterampilan kehidupan nyata seperti koordinasi tangan-mata.
Baca juga: Sepuh dan Miskin, Nenek Julaeha Makan Hanya dengan Garam dan Daun
Apa yang harus dilakukan?
Penulis Lifehacker, Patrick Allan, telah membuat panduan tentang bagaimana mengurangi jumlah waktu yang dihabiskan seseorang untuk bermain game.
Orang tua dari anak-anak yang tampaknya “kecanduan” dengan PlayStation atau Xbox mereka dapat mengumpulkan beberapa panduan bermanfaat darinya.
Sebagai permulaan, Allan merekomendasikan untuk melihat berapa banyak waktu yang dihabiskan anak mereka—melalui catatan—untuk membantu orang tersebut menyadari seberapa sering mereka bermain dan merasakan apakah itu sebuah masalah.
Dia juga menyarankan menetapkan batasan seperti hanya bermain pada hari-hari tertentu atau menghindari pembelian dalam game, dan menghindari permainan yang memerlukan waktu lebih banyak. (*)
Kahfi Dirga Cahya/Kompas.com
Sumber: nypost.com
Penulis | : | Amanda Hanaria |
Editor | : | Amanda Hanaria |
KOMENTAR