Pasca Jajak Pendapat
Kanaya datang bersama rombongan ke lokasi pengungsi masyarakat asal Timor Leste di Tuapukan, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk mendirikan RP. Sebuah shelter yang didirikan Kanaya sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, terutama mereka yang terkena bencana.
Para pengungsi di Tuapukan bukanlah asli warga NTT. Mereka adalah warga Timor Leste yang pada tahun 1999 harus tersingkir dari tanah leluhurnya karena lebih memilih bergabung dengan RI. Timor Leste kemudian berdiri sebagai negara merdeka. Karena memilih bergabung dengan Indonesia, pemerintah menempatkan para pengungsi di tiga titik pengungsian. Tuapukan adalah tempat pengungsian terbesar karena sempat dihuni 20 ribu jiwa lebih.
Sebagai tempat tinggal, mereka dibuatkan rumah sangat sederhana dengan atap rumbai dari daun giwang. Dinding rumah dibuat dari batang pohon giwang kering yang ditata rapi dan masih berlantai tanah, sehingga kala hujan tiba, sekeliling rumah jadi becek dan lembap.
Kondisi fisik sebetulnya tidak jauh berbeda dibanding tahun 2001 lalu. Yang membedakan, saat ini jumlah pengsungsi tidak sebanyak tahun-tahun awal. "Sekarang di Tuapukan ada sekitar 275 jiwa, sedang lainnya ada yang sudah dapat bantuan dari pemerintah mendirikan rumah sendiri. Sebagian lagi ada yang pindah ke daerah lain atau kembali ke Timor Leste," tambah Jose.
Dihalangi dan Diusir
Kehadiran RP di Tuapukan ternyata memiliki kisah yang cukup panjang. Kanaya bertutur, awalnya ia tidak melirik Tuapukan, tetapi So'e, tempat pengungsian lain. "Tapi, ketika mobil yang saya tumpangi melintas di jalanan, saya langsung minta berhenti. Saya melihat ada perkampungan pengungsi yang sangat memprihatinkan," kisahnya.
Dari pandangan selintas, dia kemudian memutuskan tidak melanjutkan ke So'e. "Tuapukan sepertinya lebih layak dibantu," lanjutnya. Namun, masuk ke dalam kampung pengungsian dan mengajak ngobrol ibu-ibu ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Ketika berjalan-jalan menemui warga, para ibu maupun pemuda setempat malah menghalangi dan mengusirya.
"Biarlah kami miskin, kami tidak apa-apa, tapi janganlah kami diperalat," kata Kanaya menirukan ucapan mereka.
Semula, Kanaya tidak mengerti maksud ucapan tersebut. Baru setelah dia berusaha mendengar, terungkap bahwa selama ini pengungsian itu tidak pernah dikunjungi siapapun. Jika pun ada pejabat yang berkunjung, biasanya dengan maksud politis, seperti menggalang massa atau pencitraan. Setelah tujuan tercapai, para pejabat itu pun tidak pernah muncul lagi.
"Saya tak menyerah. Saya jelaskan kepada mereka bahwa tujuan saya benar-benar mau membantu tanpa ada embel-embel apa pun," kata Kanaya. Akhirnya, dengan berbagai cara pendekatan, mereka pun percaya hingga akhirnya dekat seperti saat ini.
Sentilan Sang Pendeta