Rumah Pandai Kanaya, Shelter Bagi Para Pengungsi Korban Bencana

By nova.id, Jumat, 23 Januari 2015 | 00:55 WIB
Rumah Pandai Kanaya Shelter Bagi Para Pengungsi Korban Bencana (nova.id)

Rumah Pandai Kanaya Shelter Bagi Para Pengungsi Korban Bencana (nova.id)
Rumah Pandai Kanaya Shelter Bagi Para Pengungsi Korban Bencana (nova.id)
Rumah Pandai Kanaya Shelter Bagi Para Pengungsi Korban Bencana (nova.id)

"Suguhan tari dari para remaja SMP, sementara anak-anak pengsungsi tertawa terpingkal menyaksikan aksi Angel. (Foto: Gandhi / NOVA) "

Enam ibu dengan pakaian tenun khas Timor menari-nari diiringi musik tabuh di tangannya. Sesekali, tubuh mereka berputar-putar, kemudian berjajar lurus. Kakinya yang telanjang menyeret-nyeret lincah tanah berbebatuan. Sementara itu, tiga lelaki di depan, satu di antaranya dengan parang terhunus, ikut menari-nari seirama.

Dari sudut berlawanan, Kanaya Tabitha bersama rekan-rekan artis yang tergabung dalam Sahabat Rumah Pandai berjalan perlahan. Mereka mendekat. Begitu saling berhadapan, satu dari penari lelaki mengalungkan songket khas Timor di leher Kanaya. Puluhan anak-anak dan ibu-ibu pun ikut menyambut dengan penuh suka cita. Desainer kenamaan itu tak mampu membendung air mata memperoleh sambutan yang begitu hangat. "Saya tak menduga bakal disambut dengan acara semeriah ini," kata Kanaya dengan mata berkaca-kaca.

Kanaya makin tak bisa menahan air mata. Usai acara penyambutan sederhana itu, anak-anak balita pun langsung menyerbu dan memeluknya, "Bunda...Bunda...," teriak mereka. Tak hanya Kanaya, para artis seperti Angela Pieters dan Patricia Gunawan yang ikut pun larut. Mata mereka terus berkaca-kaca melihat tingkah polah anak-anak berbaju kumal yang terlihat lucu dan polos tersebut.

Bagi orang berdarah Timor Leste, tarian tebe-tebe yang dilakukan di atas adalah tarian selamat datang sekaligus penghormatan kepada tamu khusus. "Tidak semua tamu kami sambut dengan tarian tebe-tebe, hanya orang-orang spesial saja yang kami sambut dengan tarian khas ini," kata Jose Maria Soares, tetua warga setempat.

Senang mendapat Hiburan

Usai penyambutan, orangtua dan anak-anak berkumpul di salah satu halaman kosong. Di awal acara, secara simbolis Kanaya menyerahkan kloset kepada ketua kelompok warga setempat. Sesuai rencana, Rumah Pandai (RP) akan membuat 30 buah WC umum yang akan dipasang di berbagai sudut lokasi pengungsian. "Karena selama ini pengungsi tidak punya WC yang memadai dan sehat," papar Kanaya.

Suasana senja itu begitu meriah. Anak-anak serta orangtua seolah tak mau beranjak meninggalkan tempat. Usai acara seremonial, dilanjutkan dengan unjuk kebolehan anak-anak menyanyi dan menari. Yang tampil bukan cuma balita, tapi juga gadis-gadis belia yang duduk di bangku SMP. Para pengungsi tersebut tidak tahu bahwa yang ada di hadapan mereka adalah para selebritis.

Usai anak-anak pengungsi unjuk kebolehan, tampil Angel, penyanyi cantik jebolan Idola Cilik. Ia mengajak anak-anak bernyanyi bersama sambil menggoyang-goyangkan pantatnya. Mereka terpingkal-pingkal melihat aksi Angel yang lucu. Usai, bernyanyi, anak-anak mendapat suguhan menarik, yakni badut yang bercerita lucu dan dongeng menggunakan boneka.

"Anak-anak sangat senang sekali sebab selama ini kami sama sekali tidak pernah ada acara seperti ini atau melihat hiburan," kata seorang ibu.

Pasca Jajak Pendapat

Kanaya datang bersama rombongan ke lokasi pengungsi masyarakat asal Timor Leste di Tuapukan, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk mendirikan RP. Sebuah shelter yang didirikan Kanaya sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, terutama mereka yang terkena bencana.

Para pengungsi di Tuapukan bukanlah asli warga NTT. Mereka adalah warga Timor Leste yang pada tahun 1999 harus tersingkir dari tanah leluhurnya karena lebih memilih bergabung dengan RI. Timor Leste kemudian berdiri sebagai negara merdeka. Karena memilih bergabung dengan Indonesia, pemerintah menempatkan para pengungsi di tiga titik pengungsian. Tuapukan adalah tempat pengungsian terbesar karena sempat dihuni 20 ribu jiwa lebih.

Sebagai tempat tinggal, mereka dibuatkan rumah sangat sederhana dengan atap rumbai dari daun giwang. Dinding rumah dibuat dari batang pohon giwang kering yang ditata rapi dan masih berlantai tanah, sehingga kala hujan tiba, sekeliling rumah jadi becek dan lembap.

Kondisi fisik sebetulnya tidak jauh berbeda dibanding tahun 2001 lalu. Yang membedakan, saat ini jumlah pengsungsi tidak sebanyak tahun-tahun awal. "Sekarang di Tuapukan ada sekitar 275 jiwa, sedang lainnya ada yang sudah dapat bantuan dari pemerintah mendirikan rumah sendiri. Sebagian lagi ada yang pindah ke daerah lain atau kembali ke Timor Leste," tambah Jose.

Dihalangi dan Diusir

Kehadiran RP di Tuapukan ternyata memiliki kisah yang cukup panjang. Kanaya bertutur, awalnya ia tidak melirik Tuapukan, tetapi So'e, tempat pengungsian lain. "Tapi, ketika mobil yang saya tumpangi melintas di jalanan, saya langsung minta berhenti. Saya melihat ada perkampungan pengungsi yang sangat memprihatinkan," kisahnya.

Dari pandangan selintas, dia kemudian memutuskan tidak melanjutkan ke So'e. "Tuapukan sepertinya lebih layak dibantu," lanjutnya. Namun, masuk ke dalam kampung pengungsian dan mengajak ngobrol ibu-ibu ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Ketika berjalan-jalan menemui warga, para ibu maupun pemuda setempat malah menghalangi dan mengusirya.

"Biarlah kami miskin, kami tidak apa-apa, tapi janganlah kami diperalat," kata Kanaya menirukan ucapan mereka.

Semula, Kanaya tidak mengerti maksud ucapan tersebut. Baru setelah dia berusaha mendengar, terungkap bahwa selama ini pengungsian itu tidak pernah dikunjungi siapapun. Jika pun ada pejabat yang berkunjung, biasanya dengan maksud politis, seperti menggalang massa atau pencitraan. Setelah tujuan tercapai, para pejabat itu pun tidak pernah muncul lagi.

"Saya tak menyerah. Saya jelaskan kepada mereka bahwa tujuan saya benar-benar mau membantu tanpa ada embel-embel apa pun," kata Kanaya. Akhirnya, dengan berbagai cara pendekatan, mereka pun percaya hingga akhirnya dekat seperti saat ini.

Sentilan Sang Pendeta

RP adalah suatu shelter yang didirikan pada awal tahun 2014, hasil diskusi Kanaya dengan anaknya. Dalam diskusi tersebut dia mengungkapkan bahwa ia ingin melakukan sesuatu demi kemanusiaan kepada mereka yang belum ia kenal dan dalam bentuk yang berbeda.

Mungkin sudah menjadi garis Tuhan, beberapa hari kemudian, ia melihat tayangan TV tentang seorang ibu pengungsi Gunung Sinabung yang tengah hamil dan wajah penuh debu menangis tidak bisa pulang, padahal dirinya akan melahirkan. Kanaya tersentak melihat tayangan tersebut. Tapi di sisi lain, batinnya bertanya apa mungkin dia berangkat ke sana sementara kondisi di pengungsian porak poranda.

Keesokan harinya ketika ke gereja, seorang pendeta dari Amerika yang tengah berkhotbah tentang orang beriman yang harus keluar dari kenyamanan karena harus melakukan sesuatu. "Jangan sekedar mengeluarkan harta, tapi sekaligus lakukan sendiri. Sekarang ada tragedi Sinabung, juga banjir Manado, bantulah, datanglah ke sana," kata sang pendeta.

Yang mengherankan, saat khotbah, pendeta tersebut menunjuk Kanaya yang duduk di belakang. "Coba ibu yang di belakang itu kan, akan berangkat ke Sinabung," kata sang pendeta yang membuat Kanaya terkejut karena ia tak pernah mengenal sang pendeta.

Karena heran, usai ceramah ia menemui sang pendeta di belakang altar untuk meminta penegasan. "Dari pertemuan itu, sang pendeta mengatakan bahwa saya memang harus segera berangkat membantu sesama di Sinabung," cerita Kanaya tentang latar belakang aksi sosialnya tersebut.

Panggilan Tuhan

Mendapat dukungan moral dari sang pendeta dan buah hatinya, empat hari kemudian Kanaya nekat berangkat sendirian membawa obat-obatan ke lokasi pengungsian di kecamatan Tiga Binanga. Lokasi Tiga Binanga cukup jauh karena sudah masuk perbatasan antara Sumut dan Aceh. Setiba di lokasi, ia sangat syok melihat tiga ribu pengungsi dengan baju compang-camping tidur di pasar yang tak beratap. "Sejak itu, saya meyakini bahwa apa yang saya pilih ini memang merupakan panggilan Tuhan," paparnya.

Kanaya kemudian menyewa rumah penduduk dan membagi-bagikan obat-obatan. Ia juga mengajak bermain anak-anak pengungsi serta menemani ibu-ibu malang di sana. "Ibu-ibu bahagia sekali ketika saya temani. Mereka bilang selama ini sama sekali tidak ada orang datang memberi bantuan obat," ujar Kanaya.

Dari percakapan dengan pengungsi, akhirnya diketahui bahwa mereka tak sekedar ingin mendapat bantuan, tetapi juga keterampilan yang bisa memberdayakan untuk kehidupan berikutnya. "Bunda, tolong beri kami keterampilan, sebab kalau di pengungsian saja kami tidak bisa berbuat apa-apa kecuali tidur dan makan," kata para pengungsi.

Pada kedatangan keduanya, Kanaya menyewa sebuah rumah di dekat lokasi pengungsian dan dijadikan shelter yang sehari-hari bisa dijadikan tempat mandi, belajar, bermain bagi anak-anak pengungsi, serta tempat berkumpulnya para ibu-ibu. "Sejak itu, teman-teman mengapreasiasi apa yang saya lakukan. Sebagian membantu aksi sosial saya ini. Saat peresmian, banyak artis yang datang," papar Kanaya.

 Gandhi Wasono M.