NOVA.id – Tulisan Konsultasi Psikologi ini merupakan surat kiriman pembaca NOVA yang dijawab oleh psikolog Rieny Hassan.
Ayah mudah sekali marah. Saya sempat kena pelecehan, tapi jawaban ayah seakan-akan saya yang memancing. Apa ayah benci sama saya?
TANYA
Halo Bu Rieny,
Ini Nida lagi. Syukur alhamdulillah Nida sekarang sudah mau lulus SMA.
Saya sudah mencoba melakukan beberapa hal yang Bu Rieny minta.
Saya sudah mulai bodo amat sama masalah orang tua yang tampaknya sudah mulai mereda meski ayah masih suka ngecek HP mama.
Saya juga sudah mulai membayangkan saya ada di titik di mana saya lulus kuliah dengan nilai yang memuaskan, punya banyak pengalaman baru, lingkungan baru.
Akhir-akhir ini saya seperti punya jarak dengan ayah. Memang saya jarang mengobrol dengan ayah, saya juga jarang cerita apa-apa sejak SD. Masalah sepele sekalipun saya jarang cerita ke ayah.
Saya takut mau cerita ke ayah, sering kali ayah tidak mendengarkan saya dulu malah menyalahkan saya. Seolah-olah masalah yang saya alami, penyebabnya dari saya sendiri.
Ayah ini…
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Istriku Gangguan Mental, Bobotku Turun 7 Kg
Ayah ini orang yang mudah sekali marah. Banyak sekali hal yang membuat ayah naik darah.
Saya jarang berinteraksi dengan ayah, ya salah satunya takut kena marah seperti kakak. Beberapa masalah yang menurut saya bisa diselesaikan tanpa marah-marah pun, ayah tetap saja marah-marah.
Beberapa bulan lalu, saya sempat kena pelecehan secara verbal oleh guru saya sendiri, Bu. Tangis saya pecah saat sampai di rumah.
Saya akhirnya bercerita pada ayah. Tapi jawaban ayah malah seakan-akan saya yang memancing guru tersebut. Padahal saya sekolah di madrasah, baju seragam saya menutup aurat.
Jujur saya sedih waktu itu, hingga sekarang saya sudah tidak percaya lagi untuk cerita tentang masalah saya ke ayah.
Minggu lalu, saya sempat bertengkar dengan ayah. Lebih tepatnya saya dimarahi ayah.
Ayah menawari saya untuk ikut workshop melalui Zoom. Bukan hanya sekali ayah menawari saya. Saya sedang mengurus masalah lain waktu itu, jadi saya dalam posisi megang HP.
Saya tetap mendengarkan ayah sambil menunduk tanpa nge-swipe hp. Saya menolak secara tidak langsung.
Ayah bertanya dengan suara kecewa mengapa saya menolak. Saya yang sudah capek ditanyai terus, akhirnya saya iyakan.
Tapi ayah malah bilang saya tidak ikhlas mengiyakan ajakan beliau. Saya bingung, akhirnya saya diam dan menunduk.
Tapi tiba-tiba ayah memukul meja…
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Lagi, Aku Lihat Ayah Bermesraan Masuk Apartemen
Tapi tiba-tiba ayah memukul meja belajar dan mulai berteriak. Saya menangis tanpa suara.
Setelah beberapa saat berteriak, ayah minta maaf.
Tapi saya merasa permintaan maaf itu tidak tulus, karena yang saya tahu, ayah punya ego yang tinggi jadi beliau jarang sekali minta maaf sama orang rumah.
Kalaupun minta maaf, ayah biasanya akan membuat lawannya merasa bersalah.
Saya pun diam saja tidak menjawab apa-apa. Ayah mengira saya tidak mau memaafkan beliau.
Sejak saat itu ayah seperti sengaja membuat saya merasa bersalah.
Seperti kalau ada kucing liar yang masuk ke dapur, ayah marah-marah di depan kamar saya, padahal jarak dapur dan kamar saya lumayan jauh.
Apa ayah benci sama saya ya, Bu? Apa karena saya jarang menuruti keinginan beliau seperti kakak?
Saya capek, Bu merasa bersalah terus. Apa salah saya sampai ayah bersikap seperti itu? Terima kasih bila ibu berkenan merespons saya.
Nida – di X
Bagaimana jawaban Bu Rieny?
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Suami Cacat, kok, Istri Malah Keluyuran
JAWAB
Nida sayang,
Senang sekali terhubung kembali dengan Nida.
Oh iya, Sahabat NOVA, saya pernah membahas permasalahan Nida pada Oktober 2021 yang lalu di tabloid NOVA, dan mengundangnya untuk menyurati saya lagi kalau ada perkembangan baru.
Sebenarnya saya harus mengajak Nida untuk menelaah diri lagi, membangun mekanisme pertahanan diri agar tak mudah diprovokasi ayah dan beberapa lagi. Karena prinsipnya, yang kita miliki hanyalah diri kita sendiri, bukan?
Jadi bagaimana Nida bisa menyikapi lingkungan, termasuk ayah, agar peluang Nida untuk tetap tegak berdiri, tanpa merasa lemah, salah dan tak berdaya, dapat dihindari. Dan ini pula yang berpeluang besar untuk memberi hasil positif bila Nida lakukan.
Akan tetapi, karena yang Anda hadapi termasuk golongan “difficult people”, walau ia adalah ayah sendiri, saya harus ajak Nida untuk menelaah ayah terlebih dahulu.
Memahami Ayah
Coba deh sebutkan tiga sifat ayah yang Nida rasakan pahitnya. Cocokkan dengan penilaian saya, ya.
Pertama, pastilah pemarah. Kedua, selalu merasa diri benar, dan ketiga punya keinginan besar untuk diterima oleh orang-orang terdekatnya. Apakah jawaban kita hampir sama?
Mengapa ayah demikian?
Baca Juga: Perhatikan, Ini 9 Tanda Pasangan Selingkuh dari Pandangan Psikologi
Mengapa ayah demikian? Tak cukup informasi untuk mengenali “mengapa”-nya. Akan tetapi, menyadari bahwa ayah pemarah, adalah “alat” pertama untuk menghindar dari kemarahannya.
Kenali Pencetus Marahnya
Yang kedua, kenali hal-hal yang biasanya membuat ayah tercetus marahnya.
Ini penting Nida pahami. Karena menurut saya, keinginannya yang besar untuk mengekspresikan perasaannya melalui kemarahan, itulah yang jadi mengaburkan penyebab rasional dari kemarahannya.
Kalau sudah bisa memahami hal tersebut, maka perasaan bahwa Nida adalah penyebab marahnya ayah, akan pelan-pelan sirna.
Karena, kenyataannya, dirinyalah yang tak bisa mengendalikan emosi, sementara emosi yang ia kenal hanyalah marah.
Merasa tidak nyaman, dia marah. Merasa tidak dihormati, dia marah. Ditolak usulannya juga marah.
Kurangi Interaksi
Sementara, bila Nida makin menjauh, Nida akan makin jadi bulan-bulanannya. Kalau sudah begini, paling aman adalah mengurangi interaksi dengan ayah, utamanya secara verbal.
Sedapat mungkin berbicaralah seminimal mungkin dan hindari masuk ke dalam diskusi tentang topik yang ada di TV ataupun masalah keluarga.
Ketika ayah datang…
Baca Juga: MS Learning & Grow Resmi Hadir, Beri Layanan Konsultasi Psikologis
Ketika ayah datang dengan tawaran atau menunjukkan sesuatu untuk Nida lakukan, jangan cepat-cepat menolak.
Bila masuk akal, tak ada salahnya dicoba, bukan? Jadi, jangan menghindar dengan diam. Ini akan jadi sumbu yang dimulai dari jengkel, lalu jadi marah.
Tunjukkan Keberanian
Nah, yang paling akan membuat Nida makin aman adalah makin meningkatnya keberanian Nida untuk menjawab “tidak”.
Banyak orang tidak tahu, bahwa penolakan akan terasa benar bila disertai oleh bahasa tubuh.
Pada kasus workshop, akan lebih menguntungkan kalau Nida justru menatap mata ayah, tapi tidak dengan wajah jengkel. Datar saja, Nak, tapi di dalam hati katakan tidak.
Setelah bertemu dengan mata ayah, dia pasti kaget, kok, anaknya berani? Lalu bersuaralah—pastikan jangan menggeletar, ya.
Bicara dengan kalimat pendek saja, “Maaf, Papa, Nida sedang fokus pada ini.”
Ayah bakalan mulai seperti senapan mesin. Tapi jangan kecilkan badanmu, bahu tetap terbuka, kepala tidak menunduk. Nafas dengan teratur ya, Nak.
Saya pastikan ayah bakal sangat marah, tapi tak punya alasan.
Bila ia pukul meja,…
Baca Juga: Beri Benefit untuk Member Setia, Makuku Famili Buka Layanan Konsultasi Gratis
Bila ia pukul meja, jangan terpengaruh. Toh sudah biasa dia melakukan ini. Tetap tenang, jangan menunduk! Katakan lagi, “Saya lanjut dengan yang saya kerjakan, ya, Pa.”
Percayalah, ayah akan marah sekali, tapi pada saat yang sama, ia belajar bahwa anaknya sudah makin dewasa dan berani.
Mungkin ia akan mulai mengancam-ancam, jangan masukkan ke dalam hati, dia pasti akan tetap membiayai kuliahmu.
Mudah-mudahan ibu datang untuk menengahi. Jangan keluarkan air mata, pegang saja tangan ibu. Sekali lagi ini bagian tersulit, tetapi lakukan, Nida.
Inilah batu pijakan yang akan jadi penanda bahwa Nida sudah berhasil menampilkan nyali di depannya. Tidak kurang ajar, jadi tak ada alasan untuk mengutuk Anda.
Mengelola Diri
Nah, kita sudah masuk ke tahapan untuk mengelola diri Nida. Dalam benak Anda, jangan bangun kebencian pada ayah. Cukup mengakui perasaan bahwa ayah membuat Anda tak nyaman.
Tetapi, selama Anda punya kendali diri, Anda mestinya tidak takut. Jangan “menyenggol”, saja, itu yang penting.
Artinya, jangan membantah, jangan menjawab dengan alasan yang tak bisa diterima. Itu adalah “api” bagi ayah.
Hindari dengan fokus pada kegiatan yang sedang dilakukan. Buang juga pikiran bahwa ia sedang membuat Nida tahu kalau sedang ia sedang marah. Kan, bukan marah ke Nida, apalagi gara-gara Nida.
Tetap saja di kamar,…
Baca Juga: Generali dan Prixa Gandeng Lifepack untuk Penuhi Kebutuhan Layanan Kesehatan
Tetap saja di kamar, fokus pada apa yang sedang Nida lakukan. Buatlah kendali diri selalu ada di taraf kesadaran, makin hari makin berani menampilkan bahasa tubuh bahwa Anda tidak takut, akan tetapi tetap santun.
Ini tiga hal yang perlu Nida lakukan untuk diri sendiri. Susah pastinya sayangku, tapi insyaallah akan mengajarkan pada ayah bahwa sudah waktunya ia berubah.
Surati saya kalau ada perkembangan baru, ya.(*)
(Bila Anda ingin berkonsultasi dengan psikolog Rieny Hassan, silakan kirimkan kisah Anda ke email nova@gridnetwork.id dan tuliskan “Konsultasi Psikologi” pada subjek email. Tuliskan juga nama–boleh nama samaran–dan kota domisili Anda.)
Penulis | : | Made Mardiani Kardha |
Editor | : | Made Mardiani Kardha |
KOMENTAR