NOVA.id - Tulisan Konsultasi Psikologi ini merupakan surat kiriman pembaca NOVA yang dijawab oleh psikolog Rieny Hassan.
Suamiku suka trolling, memancing kemarahan orang lain, sampai banyak teman kami muak. Sekarang kami mengalami rentetan kemalangan. Apakah ini teguran?
TANYA
Bu Rieny Yth,
Saya ingin curhat, sambil—kalau bisa—minta sedikit saran dan dukungan.
Saya hidup bersama dengan pasangan saya, sebut saja A, di rumah orang tuanya.
Kami berdua sebenarnya tidak ada masalah selain hal-hal yang sama seperti rumah tangga atau suami-istri lain (uang belanja, ibu mertua, ayah yang penyakitan, yah semacam itu, Bu).
Bedanya hanya di status hubungan saja, karena memang kami berdua tidak ingin mengikatkan diri dalam institusi yang bernama perkawinan. Sejauh ini kami berdua bahagia, kok.
Tapi, A ini punya satu kebiasaan buruk yang sejak semula muncul dan sudah saya duga akan punya efek jangka panjang.
Terutama pada kepribadiannya yang cenderung acuh saja, kurang ada niat untuk serius dan untuk taat kepada norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Apa Ibu Rieny tahu yang disebut trolling…
Baca Juga: Mendadak Aku Insecure, Apakah Suamiku Membutuhkan Aku dan Anak-Anak?
Apa Ibu Rieny tahu yang disebut trolling di internet?
Singkatnya, melontarkan pertanyaan atau pendapat yang tidak ”biasa” atau bahkan kadang negatif, untuk memancing kemarahan orang lain. Inilah yang sering kali dilakukan A.
Kalau baru dapat perlakuan tidak enak dari orang atau rekan kerja, saya perhatikan, dia biasanya akan memancing respons orang di dunia maya. Karena sejujurnya, kalau berantem sungguhan, pasti dia yang akan kalah, Bu.
Kalau beruntung, biasanya saya berhasil menghentikan trolling-nya ini, Bu. Tapi itu pun dia masih melontarkan posting-an seperti, “Terima kasih, deh, sama yayang gua, nih. Dia yang suruh gua berhenti.”
Saya cuma bisa menghela nafas saja, Bu, tiap dia begitu. Karena, walau begitu, dia baik pada saya dan ayah, tidak pernah malas kerja pula.
Akibat kebiasaan buruknya ini, tidak jarang teman kami berdua yang tidak nyaman dengan kelakuannya, menegur saya dan mengingatkan.
Teman yang sepaham memang ada, tapi yang muak juga bertambah banyak.
Awal tahun ini, kami kena musibah beruntun, Bu. Komputer kerja A harus diganti karena sudah tak bisa dipakai lagi.
Berikutnya, hewan piaraan kami (tiga kucing dan dua burung, serta satu anjing kecil milik ayah saya) sakit, ada juga yang mati.
Lalu, ayah saya kondisi kataraknya memburuk sehingga butuh penanganan secepatnya.
Puncaknya, saya didiagnosa…
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Aku Dilecehkan Guru, Ayah Malah Memarahiku
Puncaknya, saya didiagnosa harus pasang ring di jantung.
A pusing tujuh keliling dan sekarang dia ambil kerja tambahan sementara, karena uang kami memang tidak sebanyak itu untuk mengatasi masalah beruntun seperti sekarang ini.
Troll-nya sempat keluar, tapi isi sosmednya lebih banyak keluhan akan rentetan “kemalangan” ini—begitulah dia menulisnya.
Bagaimana ya, Bu, saya tidak suka bilang begini, tapi saya kok merasa ini semacam “teguran” supaya si A lebih “beres” dalam tindakannya sehari-hari di dunia maya.
Apa saya lebay (berlebihan, red.), ya. Bu? Terima kasih, Bu Rieny.
Salam saya,
Ermalita - Jakarta
JAWAB
Mbak Ermalita Yth,
Semenjak NOVA jadi online sepenuhnya, saya belajar banyak istilah-istilah terkait era digital ini, termasuk di dalamnya trolling itu.
Tapi dalam pembahasannya,...
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Istriku Gangguan Mental, Bobotku Turun 7 Kg
Tapi dalam pembahasannya, saya mesti hati-hati, karena background masalah hampir tak pernah diceritakan.
Rasa Percaya Diri yang Rendah
Kembali ke masalah Anda, menjalani hidup ini dengan melakukan banyak hal-hal positif, seyogianya adalah sesuatu yang patut mbak Ermalita dan pasangan coba jalani.
Karena dalam melakukannya pasti akan ada dampak terhadap perkembangan rasa tanggung jawab kepada lingkup yang lebih besar, dari hanya keluarga inti (Anda, A, serta kedua orang tuanya), beranjak ke lingkup sosial yang lebih luas.
Pasti Anda pernah melihat tayangan TV tentang para haters yang dilaporkan ke polisi.
Saat wajahnya dimunculkan, kebanyakan dari mereka tampilannya berbeda 180 derajat dengan sadis dan agresifnya kala mereka menghujat, bukan?
Lunglai, tak pernah ada eye contact, bicara terbata-bata karena memang tampaknya tak terbiasa lancar verbalnya.
Semua itu menandakan kemampuan sosial yang rendah dan bersumber pada rasa percaya diri yang juga rendah.
Individu seperti ini merasa bahwa di dunia nyata sangat kecil kemungkinan mereka untuk eksis, apalagi diperhatikan orang lain.
Adanya medsos, memberi mereka “panggung” untuk berpentas menumpahkan segala kekecewaan dan agresivitas mereka dengan menyerang siapa saja yang ingin mereka serang.
Bila sasarannya adalah orang yang punya status sosial,...
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Lagi, Aku Lihat Ayah Bermesraan Masuk Apartemen
Bila sasarannya adalah orang yang punya status sosial, plus harta-ketenaran-kecantikan atau pangkat lebih tinggi, mudah sekali diduga akarnya, kan?
Iri hati. Tidak ada yang positif dari yang namanya iri hati.
Buat Daftar Hal Positif
Saran untuk membantu A mengadopsi perangai yang lebih positif dan pelan-pelan mengurangi kebiasaan yang merugikan dirinya, adalah dengan mengajak A mengenali dan menerima dirinya apa adanya. Caranya?
Duduklah bareng, cari sisi positif dirinya. Anda sangat bisa meyakinkan A bahwa dia memiliki begitu banyak hal baik di dalam diri. Jangan singgung perilaku negatifnya dulu.
Bila Anda pandai mengemas ini jadi obrolan santai, insyaallah A tak sadar bahwa tujuan akhir Anda adalah membantunya menghilangkan sikap negatif di dunia digital.
Tiap orang, tanpa terkecuali, akan nyaman bila diajak membahas tentang sisi positif dirinya, kecuali orang yang sudah demikian parah membenci dirinya.
Orang yang membenci dirinya justru tidak ingin jadi dirinya karena merasa begitu banyak yang dia tak suka pada dirinya. Mudah-mudahan A tidak termasuk tipe ini.
Berikan umpan balik nyata saat Anda melihat bahwa ia rileks, bahunya turun, menyandar, kening tidak berkerut. Masuk lagi lebih jauh.
Minta dia agar setiap hari menambah daftar kekuatan dan hal baik pada dirinya. Lalu Anda bisa berkata, “Tuh, kan, kamu punya lho banyak kelebihan.”
Menyinggung Soal Trolling
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Saya Cantik, Pintar, tapi Lajang dan Kesepian
Menyinggung Soal Trolling
Pada kesempatan lain, bisa di keesokan harinya, tanyakan, apakah ada tambahan di daftar positif itu. Di sini baru Anda bisa masuk dengan kebiasaan trolling-nya.
Katakan bahwa jejak digital tak akan hilang, bahwa bicara negatif akan kembali jadi energi negatif ke dalam diri, dan—yang terpenting—manfaatnya apa?
Tekunlah membantu A agar makin menjadi individu positif.
Memahami Hubungan Sebab Akibat
Mohon maaf, sakit adalah sesuatu yang Allah berikan pada hamba-Nya. Dan mohon maaf, saya bukan ahli agama, sedih sekali kalau sampai ada yang percaya bahwa kita sakit karena Tuhan murka.
Tuhan itu Maha Kasih dan Maha Penyayang. Mengapa tidak mulai berpikir bahwa gangguan pada jantung biasanya erat dengan gaya hidup? Kurang olah raga, tak mahir mengelola stres, atau sedih berkepanjangan, misalnya.
Soal katarak, usia ayahnya A bukan 40 tahun, kan? Paling sedikit 50-an tahun. Bukankah lazimnya orang sepuh memang kena katarak?
Mata saya dua-duanya katarak. Yang kiri sudah 90% hilang kemampuan melihat, sehingga harus dioperasi. Yang kanan 40%, saya masih saja menunda-nunda.
Ya, diterimalah sebagai penanda makin menurunnya fungsi tubuh kita, sejalan dengan bertambahnya usia.
Dengan BPJS, operasi katarak gratis, kok!
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Anakku Malu dengan Ayahnya yang Tidak Keren
Dengan BPJS, operasi katarak gratis, kok! Makin paham kita tentang mekanisme program kesehatan pemerintah, makin banyak yang bisa kita nikmati, lho.
Maka dari itu, pastikan iuran BPJS dibayar tiap bulannya.
Pasang ring juga sudah dilakukan oleh banyak teman-teman sebaya saya. Bisa, kok, memakai BPJS.
Antre? Ya iyalah, rakyat Indonesia ratusan juta, lho. Jangan berkaca ke Singapura yang jumlah penduduknya cuma se-Kebayoran.
Komputer down? Bagaimana kalau Anda ingat-ingat kapan Anda membelinya? Jangan-jangan memang sudah saatnya ganti.
Ketika penjelasan logis bisa ditemukan, hubungan sebab-akibat akan nyata terbentang, bukan?
Sudah panjang, ya, cerita saya. Yuk, optimis, jangan dilihat sebagai “tumpukan masalah”, lihat satu per satu agar Anda tak merasa akan tertimbun dalam masalah. Jangan lupa untuk tetap selalu terhubung, ya. Salam hangat.(*)
(Bila Anda ingin berkonsultasi dengan psikolog Rieny Hassan, silakan kirimkan kisah Anda ke email nova@gridnetwork.id dan tuliskan “Konsultasi Psikologi” pada subjek email. Tuliskan juga nama—boleh nama samaran—dan kota domisili Anda.)
Penulis | : | Made Mardiani Kardha |
Editor | : | Made Mardiani Kardha |
KOMENTAR