Setiap pengeluaran keluarga kecilku, seperti bakpao yang ditaruh di meja makan akan ditelaah, dibahas, didiskusikan oleh keluarga besar dari segala sudut.
Tentu lengkap dengan kritik dan sedikit saran, dan tak pernah dipuji, pastinya. Kakak dan adiknya suami menikah dengan orang daerah sini, jadi adat istiadat mereka serupa.
Tapi, saya? Biasa untuk bebas berekspresi, punya uang sendiri, selama tidak melanggar norma agama dan kesantunan suka mengeksplor lingkungan dan traveling.
Setelah kawin, suami sering bilang, “Bagaimana nanti kata Ibu dan saudara- saudaraku?”
Lalu, “Kayaknya para istri di keluarga besarku anteng-anteng saja di rumah.”
Ini selalu muncul saat saya ingin jalan agak jauh dari rumah. Bahkan ke pasar besar dekat alun-alun saja kalau tak ditemani suami, tidak bakal diizinkan.
Sementara, dia selalu sibuk bekerja. Harusnya saya senang, ya, Bu, walaupun hidup tercukupi, suami masih ingin punya pekerjaan dan gajinya sendiri.
Tetapi, saya merasa makin terbenam di rumah dan suami tak senang kalau saya tidak serupa dengan keluarga besarnya.
Saya merasa kebebasan saya hilang. Bukan ingin bebas yang liar, tetapi enak sekali kalau bisa mengelola gaji suami sesuai keinginan rumah tangga saya. Saya, kadang berkonsultasi dengan suami untuk merdeka dan berdaulat di rumah kami.
Makin lama saya lihat suami makin bergantung pada apa kata ibunya. Hanya karena mereka selalu memegang dan mengasuh anaknya sendiri, saya tidak diperbolehkan punya pembantu untuk memegang anak-anak.
Padahal, kecuali sedang tidur, anak-anak butuh pendampingan ketat. Kadang saya sedang punya banyak ide, ingin sekali masuk kamar kerja saya−bengkel kalau saya menyebutnya, lalu suami saya titipi anak- anak.
Baca Juga: Tidak Mau Menyentuhku, Suamiku Malah Nonton Video Porno Terus
Penulis | : | Rieny Hassan |
Editor | : | Maria Ermilinda Hayon |
KOMENTAR