NOVA.ID – Tulisan ini merupakan surat kiriman Sahabat NOVA yang dijawab oleh DRA. Rieny Hassan seorang Psikolog, dan pernah dimuat di Tabloid NOVA.
Tanya dari Nendra seorang perempuan di Yogyakarta
Yth. Bu Rieny, Sekarang saya benar-benar merasa makin tidak nyaman dengan apa yang terjadi dalam hidup saya.
Saya lahir dan besar di Jakarta, sudah menikah enam tahun dan punya sepasang anak kembar usia 4 tahun yang ganteng-ganteng, lucu, dan tak pernah bisa diam, Bu.
Saya tidak suka aturan yang menghambat ekspresi diri.
Sejak SMA saya terbiasa memperoleh uang dengan membuat pernak-pernik aksesori perempuan. Walaupun saya lulusan S1 informatika, saya lebih merasa sebagai seniman ataupun pekerja kreatif.
Saya bertemu suami dan jatuh cinta karena dia tampak seperti family man yang selalu saya dambakan untuk jadi suami.
Ketika hubungan makin serius, saya mengiakan ajakan menikah dan ikut suami pindah ke Yogya, tempat keluarga besarnya bermukim.
Mereka rukun, hangat, tidak punya masalah keuangan karena kakeknya yang amat kaya dan sudah mengatur semua kesejahteraan anak cucu dan cicitnya.
Bisnis keluarga besarnya pun berjalan lancar.
Saya memang tak kekurangan, tapi tahukah Ibu?
Baca Juga: Curhatan Istri, Sulitnya Mempertahankan Pernikahan Bersama Suami yang Bipolar
Setiap pengeluaran keluarga kecilku, seperti bakpao yang ditaruh di meja makan akan ditelaah, dibahas, didiskusikan oleh keluarga besar dari segala sudut.
Tentu lengkap dengan kritik dan sedikit saran, dan tak pernah dipuji, pastinya. Kakak dan adiknya suami menikah dengan orang daerah sini, jadi adat istiadat mereka serupa.
Tapi, saya? Biasa untuk bebas berekspresi, punya uang sendiri, selama tidak melanggar norma agama dan kesantunan suka mengeksplor lingkungan dan traveling.
Setelah kawin, suami sering bilang, “Bagaimana nanti kata Ibu dan saudara- saudaraku?”
Lalu, “Kayaknya para istri di keluarga besarku anteng-anteng saja di rumah.”
Ini selalu muncul saat saya ingin jalan agak jauh dari rumah. Bahkan ke pasar besar dekat alun-alun saja kalau tak ditemani suami, tidak bakal diizinkan.
Sementara, dia selalu sibuk bekerja. Harusnya saya senang, ya, Bu, walaupun hidup tercukupi, suami masih ingin punya pekerjaan dan gajinya sendiri.
Tetapi, saya merasa makin terbenam di rumah dan suami tak senang kalau saya tidak serupa dengan keluarga besarnya.
Saya merasa kebebasan saya hilang. Bukan ingin bebas yang liar, tetapi enak sekali kalau bisa mengelola gaji suami sesuai keinginan rumah tangga saya. Saya, kadang berkonsultasi dengan suami untuk merdeka dan berdaulat di rumah kami.
Makin lama saya lihat suami makin bergantung pada apa kata ibunya. Hanya karena mereka selalu memegang dan mengasuh anaknya sendiri, saya tidak diperbolehkan punya pembantu untuk memegang anak-anak.
Padahal, kecuali sedang tidur, anak-anak butuh pendampingan ketat. Kadang saya sedang punya banyak ide, ingin sekali masuk kamar kerja saya−bengkel kalau saya menyebutnya, lalu suami saya titipi anak- anak.
Baca Juga: Tidak Mau Menyentuhku, Suamiku Malah Nonton Video Porno Terus
Tak pernah lebih dari 15 menit, dia sudah mengetuk dan menyerahkan lagi anak- anak ke saya. Padahal sehari penuh, waktu dia bekerja, saya bergumul dengan segala tingkah polah anak-anaknya. Tak ada rasanya, keinginan suami untuk membantu mengasuh anaknya sendiri.
Mempertahankan kepala supaya tetap ada di atas genangan lumpur hisap agar tetap bisa bernapas, begitu barangkali gambaran kondisi saya saat ini.
Tak bisa punya me time, baby sitter, dan suami hampir tak pernah mau berbagi dalam pengasuhan anak. Kadang air mata menetes begitu saja, tapi kemudian tergelak karena anak-anak menggelantungi saya dan bertanya, “Mama kenapa?”
Duh, siapa, sih, ibu yang tak senang?
Di grup WA keluarga, saya yang paling jarang muncul karena saat anak- anak tertidur, saya juga ikut tidur, mencuri kesempatan supaya tidak pusing karena kurang tidur.
Bu Rieny punya kiat jitu buat saya? Lelah rasanya, Bu, berada dalam perkawinan seperti ini. Terima kasih.
Jawab Dra. Rieny Hassan, Psikolog
Yth. Ibu Nendra, Terbayang oleh saya, betapa lelah Anda menjalani hari-hari dalam hidup Anda selama ini.
Tetapi ada juga keheranan saya, sebegitu mandirinya Anda di masa gadis, kok, sekarang bisa sedemikian berubahnya mengikuti kelaziman di keluarga besar suami?
Padahal, suami, kan, punya penghasilan mandiri yang membuat dia sebenarnya tak harus ikut dan menuruti semua anjuran keluarganya.
Menurut saya itu bukan aturan, karena kalau aturan itu jelas sanksinya dan jelas dibuat untuk mengatur apa.
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Aku Pusing Mengasuh Adik yang Ingin Jadi Bintang
Mari kita mencoba membahas ini dengan memakai dua katagori saja sesuai yang terjadi dalam hidup kita.
Hal-hal yang harus kita terima sebagai karunia, tak bisa diubah dan yang bisa diubah. Suami adalah anak dari ibunya, ini sesuatu yang tak dapat diubah oleh siapa pun.
Maka ini menjadi kenyataan yang lekat pada suami. Anda, sebagai istri tak bisa meminta suami untuk mencari ibu yang lain, bukan?
Nah, ketika Anda harus menerimanya ada beberapa konsekuensi pula. Suami mencoba patuh pada ibunya, ingin jadi anak yang disayang oleh ibunya dengan berbagai cara yang bisa dia lakukan. Terkait dengan ini, bagaimana caranya menyikapi ini agar Anda tetap punya peluang untuk berbahagia hidup bersama suami?
Tentunya, Anda perlu fokus pada hal yang bisa diubah. Mengapa perlu ada perubahan? Supaya bisa lebih klik dengan Anda tentunya.
Tetapi, akan menjadi sebuah masalah besar kalau kita percaya diri bahwa suami bisa diubah sesuai yang kita inginkan.
Karena, di saat yang sama, ibu dan saudara-saudaranya tentu juga punya harapan terhadap apa yang suami Anda lakukan untuk rumah tangganya. Sudah jelas, ini bertentangan dengan yang diharapkan, bukan?
Ingat, status ibu, kakak, dan adik tak bisa dihapus, tapi cara suami berinteraksi, menempatkan Anda di keluarganya, selalu bisa diubah dan disesuaikan.
Hal pertama yang harus diingat, selalu hormati mertua sebagai orang yang melahirkan suami. Jangan pernah mencerca beliau di hadapan anaknya.
Kalau pun ada hal yang menyesakkan dada, tetap hormat dan santun. Tidak susah kalau Anda katakan pada diri Anda, bahwa itu dilakukan karena Anda menghormati diri Anda dan karena Anda paham etiket dan sopan santun.
Yang perlu dilakukan, menumbuhkan keinginan dan kebutuhan dalam diri suami untuk mengubah diri dan kemasannya dalam perspektif yang positif.
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Kupikir Sibuk, Ternyata Pacarku Menikahi Perempuan yang Dihamilinya
Beri dia pengalaman menyenangkan saat berada bersama Anda dan anak-anak. Ini patut dicoba sesegera mungkin. Jangan mengeluh tentang anak- anak yang super aktif.
Ubah gaya Anda dengan menyajikan hal menyenangkan yang bisa diceritakan dan dilihat olehnya. Ketika ini masuk dalam pemahamannya, pasti suami akan pelan-pelan mau lebih lama main dengan anaknya. Misalnya, membacakan cerita saat mau tidur.
Tentang anak-anak, pernahkah Anda berpikir bahwa mereka punya kebutuhan khusus untuk bisa dikelola hiperaktifnya melalui bantuan profesional?
Coba bawa ke psikolog anak. Biasanya Anda diminta untuk berkonsultasi juga ke psikiater anak, untuk menentukan termasuk golongan apa hiperaktivitasnya.
Tak tertutup kemungkinan, mereka bukan hiperaktif, hanya Anda saja yang belum paham cara menanganinya.
Jangan khawatir atau kecil hati, saya bukan menakut-nakuti, tetapi makin kita tahu, makin efektif cara kita mengasuh si kembar. Dengan selalu membawa anak-anak ke mana pun mudah-mudahan suami tahu tingkat kerepotan istrinya.
Mulailah masukkan ide bahwa Anda butuh pengasuh di rumah. Katakan bahwa rumah tangga Anda berdua, berbeda dengan kakak dan adiknya, yang anak-anaknya bisa disambi ini dan itu saat mengerjakan urusan rumah tangga.
Ingat, jangan cemberut, tetap manis namun tegas mengemukakan kebutuhan agar suami berpikir, “Wah, ternyata istri kerepotan.”
Kalau suami keberatan ada orang lain di rumah, mulai dengan cari pengasuh yang bekerja setengah hari. Bagaimana dengan Nendra sendiri? Tak akan ada perubahan pada suami, kalau istri juga tak mau berubah.
Coba lebih efisien mengelola waktu sambil mengurangi keinginan menjadi “ratu rumah tangga” yang andal. Memasak untuk anak baik untuk kebersihan dan kesehatan serta mengurangi asupan yang memicu hiperaktivitasnya.
Cari informasinya di internet atau beli bukunya. Untuk Anda dan suami, coba katering rumahan agar mengurangi kerepotan. Masak untuk suami memang cara membuat dia cinta pada kita. Tapi kalau kerja sendiri, ya, kita pasti kerepotan.
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Aku Menagih Utang ke Suami Seperti Pengemis
Saya berani usulkan ini, karena uang bukan masalah. Lalu bagaimana kalau dikritik keluarga suami?
Diam saja, tebalkan telinga, jangan marah atau menjawab, mengelak dan menangkis apa yang dikatakan. Lelah, sayangku. Lebih baik senyum, tetap santun, tapi di sisi lain perlihatkan bahwa rumah adalah teritorial Anda dan suami.
Anda tidak mengganggu mereka dengan menghadirkan pengasuh di rumah. Ketika Anda terbiasa menyajikan kemudahan dan keceriaan anak- anak ke hadapan suami beserta keluarga besarnya, insyaallah akan ada di antara mereka yang bisa melihat ini dengan positif dan mau menerima bahwa Anda memang butuh dan kini lebih nyaman menjalani hidup.
Jangan hentikan gaul dengan komunitas, serta pembuatan pernak-pernik yang menjadi saluran bakat Anda.
Teman yang baik akan memberi kita energi positif dan hasil karya kita adalah bukti eksistensi kita. Sedih, kan, kalau dianggap tidak eksis lagi. Ayo, keluar dari lumpur isap di imajinasi Anda.
Berdiri tegak di lahan kering, lalu melangkah maju dengan lebih bijak menjalani hari, bertumpu pada keterampilan menyusun prioritas hidup.
Suami adalah sahabat terdekat Anda, belahan jiwa, dan ayahnya anak-anak. Maka, dia harus dibuat nyaman berada dekat Anda, oke? Salam hangat. (*)
Penulis | : | Rieny Hassan |
Editor | : | Maria Ermilinda Hayon |
KOMENTAR