TabloidNova.com - Menurut data WHO, kanker kolorektal atau kanker usus besar menempati posisi ketiga setelah kanker paru dan kanker payudara sebagai penyakit paling mematikan. Kanker ini berasal dari sel-sel di usus besar dan rektum.
Menurut Prof. Dr. dr. Arry Harryanto, Sp.PD-KHOM, dokter spesialis penyakit dalam dan konsultan hematologi-onkologi medik dari FKUI-RSCM, biasanya kanker ini terjadi pada orang berusia lebih dari 50 tahun karena daya tahan tubuhnya mulai berkurang.
"Faktor penyebabnya karena kelainan genetik, riwayat keluarga. Sebanyak 20 persen penderita memiliki riwayat keluarga dengan insiden kanker yang sama, polip, dan penderita diabetes tipe 2," jelas Dr. Arry, saat bincang-bincang "Regorafenib, Harapan Baru Bagi Pengidap Kanker Kolorektal Stadium Lanjut Melalui Pengobatan Oral" di Hotel MidPlaza InterContinental, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Faktor yang bisa meningkatkan risiko kanker ini adalah obesitas, merokok, dan pola makan yang buruk. "Terutama (kebiasaan) makan daging merah meningkatkan risiko 3 kali lipat pada laki-laki. Selain itu minum-minuman keras juga ikut berkontribusi," tambahnya.
Dengan perawatan yang tepat, rata-rata survival rate selama 5 tahun untuk pasien yang terdiagnosa di stadium awal mencapai 74 persen. Berdasarkan panduan European Society For Medical Oncology (ESMO) dan National Comprehensive Cancer Network (NCCN), bila pengobatan pada lini 1 dan 2 tidak berhasil dengan baik maka pada stadium lanjut akan dilakukan terapi paliatif.
Terapi paliatif termasuk di dalamnya terapi target. "Yaitu pemberian obat atau substansi yang dapat menghambat pertumbuhan dan penyebaran kanker dengan cara menghambat molekul spesifik yang terlibat dalam pertumbuhan dan perkembangan tumor," kata Prof. Dr. Abdul Muthalib, Sp.PD-KHOM RSCM di acara yang sama.
Regorafenib yang merupakan pengobatan terbaru untuk pasien kanker kolorektal ini terbukti mampu menekan risiko kematian sebanyak 23 persen.
"Sejak Desember 2012 Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika (FDA) memberikan izin dan setuju terhadap penggunaan Regorafenib untuk terapi pasien. Sementara di Indonesia disetujui beredar Oktober 2014," pungkasnya.
Noverita K. Waldan
KOMENTAR