"Hal ini terjadi karena anak hanya berinteraksi dengan orangtuanya saja. Jika anak lebih sering di rumah bersama orangtua atau pengasuh, maka jika tidak masuk TK atau PAUD ia akan mudah menangis, kurang pandai menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan kemampuan pemecahan masalahnya kurang," kata Adib Setiawan, M.Psi., psikolog di Bimbingan Belajar dan Terapi Anak "My Talent," Jakarta.
Belajar dan Bermain
Jenjang pendidikan TK melibatkan proses belajar yang "dibalut" dalam permainan sehingga lebih menyenangkan. Materi yang dipelajari, urai Adib, mencakup beberapa hal.
1. Kemampuan Sosial
Social skill melatih anak berinteraksi dengan teman-temannya agar ia memiliki keterampilan sosial yang baik. Kemampuan yang diharapkan adalah anak mau menolong dan menghormati orang lain, berbagi, tidak memaksakan kehendak, mau meminjamkan atau bertukar mainan dengan sesama.
Keterampilan sosial ini lebih lanjut membuat anak belajar untuk tidak memaksakan kehendak, mampu berperilaku menyenangkan, mudah bergaul, nyaman bermain, dan bisa mengungkapkan apa yang ada di pikirannya dengan baik.
2. Motorik Kasar & Halus
Kemampuan motorik halus dan motorik kasar pun dilatih di bangku TK. Motorik halus bisa dilatih lewat menggambar dan mewarnai, sementara motorik kasar dilatih ketika anak menendang bola dan mengenal permainan-permainan lain.
3. Kemampuan Kognitif
Saat memasuki bangku TK, kemampuan kognitif anak terlatih karena ia akan mengenal dan memperbanyak kosakata. "Kemampuan anak pun pasti meningkat karena ia harus berlatih makan sendiri, membereskan barang ke dalam tas, dan belajar memahami orang-orang di sekelilingnya," lanjut Adib yang juga psikolog di www.praktekpsikolog.com ini.
Otoriter vs Permisif
Anak juga akan mengenal aturan dan tuntutan dari lingkungan. Pihak sekolah, lanjut Adib, biasanya lebih autoritatif alias demokratis dalam menerapkan aturan pada siswa. Ini tentu berkebalikan dengan beberapa orangtua yang tanpa disadari menerapkan pola asuh yang kontras, yaitu antara permisif atau otoriter.
Pola asuh demokratis merupakan pola asuh yang menyeimbangkan kebebasan anak untuk berkreasi dan berinisiatif, namun diimbangi dengan aturan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Inilah yang umumnya ditemukan dalam proses belajar di TK.
Sementara pola asuh permisif merupakan pola asuh serba boleh atau terlalu memanjakan anak sehingga orangtua selalu mengalah demi memenuhi keinginan anak. Orangtua yang menggunakan pola asuh ini biasanya menyayangi anak secara berlebihan.
Anak justru tidak memiliki aturan atau tuntutan-tuntutan tertentu, termasuk tuntutan untuk tenang dan tidak menangis saat menginginkan sesuatu. Akibatnya? Pola asuh permisif ini membuat anak tidak mandiri dan kesulitan untuk membuat keputusan.
Sebaliknya, pola asuh otoriter justru melarang anak secara berlebihan, sehingga anak lebih sering ketakutan. Bahkan dalam beberapa kasus, orangtua cenderung memaksakan kehendak dengan menerapkan aturan secara berlebihan sehingga anak tidak memiliki kesempatan untuk mengungkapkan diri.
Pola asuh permisif dan otoriter, lanjut Adib, bisa membuat anak trauma. "Sehingga jelas bahwa keduanya tidak sesuai diterapkan ke anak. Yang paling sesuai adalah pola asuh autoritatif atau yang biasa disebut demokratis," kata Adib.
Hasto Prianggoro
KOMENTAR