Sepahit apa pun kenyataan yang ada di depan mata, akan lebih terasa ringan jika dihadapi bersama oleh suami-istri. Termasuk jika suami terkena PHK. Percayalah, jalan keluar pasti ada. Juga untuk anak-anak tercinta yang mungkin terkena dampaknya.
Suka marah-marah, jadi pendiam, cepat tersinggung, itu cuma sebagian dari reaksi wajar yang muncul ketika seorang pria terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Itu pula yang dialami Asti (bukan nama sebenarnya). "Mula-mula saya bisa mengerti. Tapi lama-lama, saya kesal juga," keluhnya. Sang suami yang dulunya periang, kini lebih banyak nongkrong di depan teve. "Bayangkan, gimana nggak kesel? Kan, lebih baik dia cari kerja daripada bengong di rumah," lanjut Asti.
Menurut psikolog Dharmayati Utoyo Lubis, Ph. D dari Fakultas Psikologi UI, wajar kalau Asti kesal sekaligus iba pada suaminya. "Memang jadi serba salah. Hubungan suami-istri yang tadinya oke, jadi kacau."
Masalah yang mendasar, kata Yati, adalah karena "kerja" bagi sebagian besar pria Indonesia masih dianggap sebagai konsep diri yang dihubungkan dengan "adanya dia". "Kalau dia tidak kerja, seakan-akan dia tak ada." Hal ini sangat erat kaitannya dengan bagaimana si pria dibesarkan. "Lihat saja di buku pelajaran SD. Di situ selalu ditulis, 'Ayah pergi ke kantor, Ibu memasak di dapur'. Nah, hal ini tertanam terus di benak anak- anak, hingga tak bisa disalahkan bila timbul konsep diri demikian," tutur Yati.
Sebab itulah, jika tak bekerja, pria merasa dunia ini seakan runtuh. "Walau kenyataannya, bukan hanya dia yang di-PHK. Banyak pria lain mengalami hal sama. Toh, tetap saja sebagian lelaki masih susah menerimanya." Akibatnya, sambung Yati, ia merasa terpukul. "Ini terutama terjadi pada pria yang pesimistis." Pada diri pria jenis ini, yang muncul kemudian adalah perilaku-perilaku yang sangat mengganggu, baik pada istrinya maupun anaknya. Entah itu depresif, marah-marah, atau menyalahkan lingkungan. Misalnya, "Kamu, sih, selama ini tidak mau menabung. Kita jadi tak punya uang, deh, kalau keadaan sudah begini."
Lain halnya suami yang optimis "Saya akan coba lagi cari kerja di tempat lain atau cari peluang lain sambil menunggu perkenomian Indonesia membaik!" Itu yang biasanya tercetus dari mereka.
TIGA LANGKAH AJAIB
Jadi, bagaimana si jenis pesimis harus bersikap? "Ubah cara pandang! Tak perlu menyalahkan lingkungan karena mampu tidaknya kita menerobos masalah, tergantung dari diri sendiri." Kalau ini berhasil dilakukan, kata Yati, "Sudah merupakan sukses. Bukankah sukses kepercayaan diri dibangun dari sukses-sukses kecil?" Apalagi, biasanya pria yang pesimis lebih cepat kehilangan percaya diri jika terkena benturan.
Saran kedua, kata Yati, "Berkomunikasilah dengan istri atau keluarga. Bukan komunikasi dengan bahasa tubuh yang tidak menyenangkan. Suami harus ingat, istri pun ikut stres dan terpukul karena dialah yang selama ini memutar roda perekonomian di rumah." Sadari pula bahwa sebetulnya istri ingin toleran, berbagi rasa. "Tapi kalau dikasih muka masam dan disemprot melulu, ya, bagaimana, dong?"
Yang ketiga, cari peluang. "Jika tidak punya modal, cari peluang yang sedapat mungkin tidak memakai modal. Misalnya, kerja sama dengan yang punya modal, jual jasa, dan lainnya," saran Yati sambil mencontohkan tetangganya yang di-PHK dari sebuah bank yang akhirnya membuka bengkel kecil-kecilan. "Karena hampir tiap hari utak-atik mobil, satu hari tetangga lainnya datang, minta jasanya. Akhirnya, tetangga lainnya juga ikut-ikutan. Nah, itu, kan, usaha tanpa modal, tanpa iklan."
Untuk melihat peluang, sambung Yati, tak ada salahnya suami melibatkan istri dan keluarga. "Orang yang tengah mengalami kesulitan, yang terbaik dilakukannya adalah sharing. Istri juga jadi tahu, suaminya sedang berpikir, bukan cuma diam merenungi nasib bu ruk." Kesempatan berbagi ini juga sekaligus bisa dijadikan media bagi orangtua untuk menjelaskan pada anak, apa yang tengah mereka hadapi. "Karena anak pun kena dampaknya. Misalnya, uang jajan dikurangi. Nah, lewat sharing tadi, anak jadi mengerti dan bahkan bisa ikut menyumbang ide segar."
RESEP UNTUK ISTRI
Istri adalah pihak yang kerap lebih tertekan. "Selain harus menghadapi si ter-PHK, juga uang belanja yang seret, anak, dan lingkungan. Yang paling berat, ya, menghadapi si suami." Perbesar kesabaran dan toleransi terhadap suami, menurut Yati, adalah resep paling mujarab untuk para istri. "Kalau suami murung, dekati dan beri ia dukungan semangat. Jangan justru menjauh karena takut suami tersinggung. Cobalah untuk mengerti sambil tak henti mendorongnya agar suami bangkit."
Yang lebih berat, kata Yati, adalah istri yang masih bekerja sementara suami kena PHK. "Biasanya si suami sebal karena istrinya masih kerja, sementara dia tidak. Belum lagi lingkungan ngomongin yang enggak-enggak." Untuk kasus seperti ini, saran Yati, "Istri harus lebih tepo seliro. Melakukan sesuatu harus dipikirkan dan dibicarakan bersama terlebih dahulu, jangan sampai suami tersinggung. Pendeknya, istri harus punya pengertian dobel buat suami."
Pendek kata, kalau hal ini terjadi pada Anda berdua, "Tetaplah bersatu dan terus berembug mencari jalan keluar!"
Indah Multasih/nakita
KOMENTAR