Sosok sederhana yang dikenal sebagai juru kunci atau penjaga Gunung Merapi ini sejak lahir hingga menutup mata selamanya, tinggal tinggal di Dukuh Kinahrejo, Cangkringan, Sleman. Tahun 1970, Mbah Maridjan diangkat menjadi abdi dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta dan oleh Sultan HB IX diberi nama baru, yaitu Mas Penewu Suraksohargo.
Pada saat itu, sebagai abdi dalem, Mbah Maridjan diberi jabatan sebagai wakil juru kunci dengan pangkat Mantri Juru Kunci, mendampingi ayahnya yang menjabat sebagai juru kunci Gunung Merapi.
Kendati saat itu hanya menjadi wakil, ia sudah sering mewakili sang ayah memimpin upacara ritual labuhan di puncak Gunung Merapi. Setelah ayahnya wafat pada 3 Maret 1982, Mbah Maridjan diangkat menjadi juru kunci. Dengan jabatannya ini, Mbah Maridjan menjadi panutan warga sekitar Merapi. Setiap Merapi menunjukkan tanda akan meletus, warga setempat dipastikan tidak akan segera mengungsi jika belum ada"komando" darinya.
Mbah Maridjan dikenal sebagai orang yang paling tahu seluk-beluk Merapi. Ia kerap berujar, Merapi meletus karena marah. "Saya sudah ingatkan warga sekitar lereng Merapi agar jangan sekali-kali membuatnya murka. Saya sudah bilang, jangan menggali pasir di sekitar lereng Merapi. Kalaupun mau ambil pasir, silakan, tapi ingat aturan. Ambil seadanya dari sungai. Kalau pasirnya sudah habis, ya, sudah. Tunggu saja, nanti juga ada lagi," paparnya saat bersua dengan NOVA, tahun 2006 silam.
Mbah Maridjan sempat menyesalkan warga yang sampai menggali lereng secara besar-besaran untuk mendapatkan pasir. Akibatnya, merusak alam. "Belum lagi banyak yang mengambil pohon di hutan sekitarnya. Karena itu, Merapi marah," katanya.
Gaung keberaniannya ini sempat terdengar ke telinga Walikota Munich, Jerman. Pria yang selalu tampil khas dengan batik dan kopiahnya ini pun lalu diundang sang walikota untuk menyaksikan langsung acara Pembukaan Piala Dunia saat Jerman menjadi tuan rumah, tahun 2006. "Aku ora gelem (tidak mau, Red.). Aku orang kecil, sandalku saja sandal jepit. Kalau aku ke Jerman, siapa yang akan memberi makan ternakku?" katanya dengan lugu.
Ketenaran dan keteguhannya juga membuat Mbah Maridjan didaulat menjadi bintang iklan produk minuman berenergi. Apakah si Mbah berubah setelah makin tersohor? Tidak juga. Ia tetap hidup sederhana dan membumi. Mbah Maridjan mengaku, ia tak tahu-menahu soal honor iklannya. Anak-anaknya yang mengurusnya. Bahkan warga sekitarnya pun ikut menikmatinya.
Entah siapa nanti yang menggantikan jabatannya. Dalam istirahat abadinya, mungkin Mbah Maridjan juga tetap bersetia menjaga Merapi.
Selain memantau aktivitas terakhir Gunung Merapi dari Kaliadem, sejumlah wartawan menyambangi rumah Mbah Maridjan, Selasa (26/10) silam. Tak seperti biasanya, hari itu si Mbah sama sekali tak mau dipublikasi. Ia lebih memilih tidur dan hanya menampakkan diri saat salat Ashar di musala.
"Mbah kesal karena kemarin ada sebuah stasiun teve yang nekat mengambil gambarnya. Padahal, Mbah enggak mau, bahkan sampai menutupi wajahnya," kata seorang wartawan di sana.
Usai salat, si Mbah yang saat itu berbaju koko warna kuning keemasan, mempertegas keengganannya. "Jangan difoto! Nanti saya kasih gambar diri saja," katanya sambil menjabat tangan NOVA. Lalu bergegas masuk ke dalam rumah, diikuti dua pria. Para wartawan patuh tidak memotretnya. Entah firasat apa yang didapat juru kunci itu sampai tak mau diwawancara apalagi difoto.
Hanya beberapa saat kemudian, tiba-tiba kabut menyelimuti kawasan rumah Mbah Maridjan. Merapi pun mulai tertutupi kabut. Seperti mendapat pengusiran "halus" dari si Mbah, satu per satu wartawan angkat kaki dari rumahnya. Hanya ada dua pria yang memasuki rumah dan menjadi tamu terakhir si Mbah serta keluarganya.
Sekitar satu jam kemudian, Merapi meletus. Wedhus gembel bersuhu lebih dari 600 derajat Celcius menyapu seluruh makhluk yang dilewatinya dan meluluhlantakkan segalanya. Termasuk Mbah Maridjan...
Ditemukan dalam kondisi sujud, jenazah Mbah Maridjan kemudian disemayamkan dan dimakamkan dalam kondisi lurus. Terpisah dengan korban-korban lainnya yang dimakamkan secara massal di Sidorejo, jasad juru kunci Merapi itu dimakamkan di Srunen, bersama jenazah sang adik, Udi Sutrisno (63), dan keponakannya, Narudi (30), yang juga menjadi korban wedhus gembel. Sebelumnya, jenazah disalatkan di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Pemakaman pria sepuh sederhana yang menjadi bintang iklan minuman berenergi itu dihadiri sejumlah tokoh seperti Aburizal Bakrie dan putri Gus Dur, Alissa Wahid. Selain itu, ratusan warga pun ikut menjejali prosesi pemakaman Mbaj Maridjan. Sebagian besar warga bahkan datang dari luar lereng Merapi.
Seorang warga dari Janti, Yogyakarta, Sohib (27), misalnya, mengaku tak pernah mengenal Mbah Maridjan secara pribadi. Namun ia sengaja datang untuk melihat langsung dan ikut mendoakan, "Ikut kirim Al-Fathihah saja buat Mbah," katanya.
Sebagian peziarah juga merupakan anak-anak muda yang kerap mendaki Gunung Merapi. "Mbah Maridjan dekat sekali dengan anak-anak muda yang suka naik Gunung Merapi. Kalau tidak mendapat izin naik, mereka tidak berani naik," ujar Farhan (48), seorang warga Yogyakarta.
Puluhan karangan bunga menghiasi pemakaman. Banyak di antaranya datang dari orang-orang penting tanah air. Mulai dari Bupati Sleman hingga Kapolri. Belasan wartawan media asing pun tak ketinggalan ikut meliput dan menyiarkan pemakaman sosok pria yang identik dengan gunung berapi paling aktif di dunia itu.
Sosok unik Mbah Maridjan memang amat mencuri perhatian. Keteguhan sikapnya untuk tidak meninggalkan Gunung Merapi di saat yang paling berbahaya pun menuai pro dan kontra. Lalu, siapa yang bakal menggantikan Mbah Maridjan menjadi juru kunci Merapi? Akankah ia akan melegenda seperti halnya si Mbah?
Intan, Tarmizi, Sita
KOMENTAR