Mungkin letusan Merapi pada 26 Oktober 2010 menjadi liputan yang tidak bisa saya lupakan. Pasalnya, sore itu sekitar pukul 15.00 saya dan rekan reporter dari NOVA, Ahmad Tarmizi, dan Pak Nendar (driver), adalah orang-orang terakhir yang menyalami Mbah Marijan di depan rumahnya di Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kec. Cangkringan, Sleman, DIY (26/10/2010). Pukul 17.02 Wib Merapi meletus dengan menyemburkan awan panasnya dan menyapu dusun Kinahrejo bersama jasad Mbah Maridjan.
Siangnya sekitar pukul 14.00 Wib, saya dan Ical, panggilan Ahmad Tarmizi, dan Pak Nendar (driver) naik ke arah Kaliadem, lokasi paling dekat dengan gunung Merapi yang berjarak sekitar 3 km. Kali Adem sendiri berupa lahan kosong minim pepohonan yang memang terasa gersang dengan pandangan ke arah Merapi yang luas. Ada sungai yang dibangun untuk aliran lava bila gunung Merapi meletus. Di Kali Adem kami merasa puas untuk memotret gunung Merapi yang tengah aktif memuntahkan material-material vulkanik dalam skala kecil. Awan putih tipis menaungi puncak Merapi.
Setelah dirasa cukup acara foto-memfoto dengan latar belakang Merapi, kami pun turun ke arah Pakem. Sekitar 10 menit turun dengan mobil yang kami sewa, nampak sebuah papan nama di kiri jalan yang berrtuliskan " Rumah Mbah Maridjan, Juru Kunci Merapi." Ada jalan aspal mulus yang masuk ke arah kiri dari jalan besar. Kami pun menuju ke rumah Mbah Maridjan yang berjarak sekitar 100 meter dari belokan tadi.
MBAH MARIJAN MENOLAK DIFOTO
Saat itu sekitar pukul 15.30 WIB. Ternyata di halaman depan rumah Mbah Maridjan, berkumpul sejumlah jurnalis. Kami semua menunggu Mbah Maridjan yang saat itu tengah salat di masjid . Maklum di saat Merapi menunjukkan aktivitasnya, Mbah Maridjan adalah sosok yang paling dicari karena beliau adalah juru kunci Gunung Merapi.
Ada sekitar 10-12 wartawan yang ada di sana, diantaranya dari Antara, Republika, Kompas biro Yogya dan beberapa media lokal DIY. Lokasi masjid berada di sisi kanan rumah Mbah Marijan, agak naik di lereng. Pepohonan yang hijau menambah asri Dusun Kinahrejo. Lokasi masjid berada tepat di tepi jalan masuk ke arah rumah mbah Marijan.
Beberapa menit kemudian Mbah Maridjan keluar dari masjid diikuti dua pria dewasa. Beberapa teman wartawan yang sudah lama berada di depan rumah Mbah Maridjan berkata,"Itu tamu Mbah dari NU." Kumpulan wartawan yang tadi berada tepat di depan rumah mbah Maridjan pindah lokasi ke arah turunan dekat masjid menyongsong Mbah Maridjan. Saya berada paling depan dari barisan wartawan yang akan menyalami beliau.
" Sugeng Mbah? " tanya saya menanyakan kabar. Mbah Maridjan tersenyum lebar menyambut hangat tangan saya. Karena saya sudah siap dengan kamera yang saya sandang di bahu kiri, Mbah Marijan dengan ramah menolak untuk di foto. Tangan kanan Mbah Maridjan memberi isyarat menolak untuk difoto. Saat menjabat tangan kanan Mbah Maridjan, tangan Mbah terasa tidak sempurna. Entah cacat sejak lahir atau mengalami kecelakaan.
" Ya apik-apik, ojo difoto, ojo difoto ."
(jangan difoto, jangan difoto)
" Mengko tak wehi gambar dhewe" .
(Nanti tak kasih gambar sendiri).
Mbah Maridjan juga menyambut jabat tangan teman-teman wartawan yang lain. Lalu juru kunci merapi itu berlalu masuk ke dalam rumahnya yang semi permanen. Terbuat dari papan dan tembok.
Rumah Mbah Marijan tidak sendiri di dusun itu. Ada sekitar 3-4 rumah yang mengapit rumah Mbah Marijan. Sebelah kanan rumah Mbah Marijan adalah rumah yang terdapat warung rokok. Sementara sebelah kiri terdapat dua rumah yang saat itu para penghuninya (3 wanita dan seorang pria ) tengah duduk-duduk bercengkrama. Mereka ramah menyapa kami ketika kami mengambil foto teras rumah mbah Marijan yang terdapat papan nama bertuliskan " Juru Kunci Hargo Merapi, Mas Penewu Surakso Hargo (Mbah Marijan) , Kinahrejo, Yogyakarta.".
Kami saling berfoto di depan papan nama itu. Ketawa-ketawa sembari menunggu Mbah Marijan keluar rumah. Ternyata Mbah Maridjan lama tidak keluar lagi dari dalam rumah. Obrolan kami pun berhenti ketika kabut tebal mulai turun di sore itu. Beberapa wartawan yang datang ke rumah Mbah Maridjan sebelum kami pun segera turun meninggalkan kami. Kami tinggal berempat. Saya, Ical, Pak Nenda dan Winda, reporter Kompas biro Yogya.
KOMENTAR