Praktik Psikolog Bodong Menjamur, Ini Saatnya Memilih yang Asli

By Tentry Yudvi Dian Utami, Kamis, 19 Maret 2020 | 20:00 WIB
Praktik Psikolog Bodong Menjamur, Ini Saatnya Memilih yang Asli (KatarzynaBialasiewicz)

NOVA.id - Belum lama ini, kita dikejutkan dengan berita tentang Dedy Susanto, seorang motivator yang terkenal dengan praktik Pemulihan Jiwa.

Ia diduga menyalahgunakan gelar psikologi-nya.  

Kasus ini bermula saat seorang selebgram, Revina VT, mengunggah hasil percakapannya dengan Dedy di media sosial.

Baca Juga: Psikolog Ungkap Tantangan Sebagai Perempuan Modern di Masa Mendatang

Ia curiga kalau Dedy merupakan “psikolog bodong” alias palsu.

Tak lama kemudian, mereka yang mengaku jadi korban Dedy pun curhat ke Revina soal pengalamannya. 

Yang paling mengejutkan, banyak perempuan mengaku mendapat pelecehan seksual saat berkonsultasi dengan Dedy.

Baca Juga: Ramai Kasus Psikolog Abal-Abal yang Libatkan Selebgram, Begini Cara untuk Pilih Psikolog Terpercaya

Tak hanya satu, melainkan sudah puluhan orang! Tentu saja Dedy sendiri mengelak bahwa ia telah melakukan pelecehan itu.

Melalui akun Instagram-nya @dedy.susantopj, ia terus membantah.

Tapi karena para korbannya yang bermunculan semakin banyak, akhirnya polisi pun turun tangan. Sampai tulisan ini diturunkan, kasusnya masih diusut oleh kepolisian. 

Baca Juga: Mertua Terlalu Ikut Campur dalam Urusan Rumah Tangga? Ini 3 Hal yang Bisa Kita Lakukan Menurut Psikolog

Perlu Izin Praktik

Berbeda dengan dulu, psikolog kini memang tak lagi dipandang menakutkan.

Siapa pun bisa pergi berkonsultasi ke psikolog—tak mesti sakit dulu.

Bisa karena stres, ingin menyelesaikan masalah dengan pasangan, atau sekadar ingin mengeluarkan unek-unek.

Baca Juga: Laudya Cynthia Bella Isyaratkan Suaminya Diganggu Pelakor, Psikolog Analisis Gejolak Batin Sang Artis

Bahkan, kalau lihat di media sosial, orang juga sudah mulai berani bercerita pengalaman mereka saat pergi ke psikolog. Termasuk para selebritas Tanah Air.

Tapi, karena bentuk “pengobatannya” adalah dengan bercakap-cakap, profesi ini tak jarang “dipalsukan”. Masksudnya, orang bisa menawarkan konsultasi padahal tak mengantongi izin praktik atau tak punya lisensi sebagai psikolog, atau bahkan tidak melalui pendidikan psikologi sama sekali.

Ini kan sama saja dengan orang yang tak mengenyam pendidikan kedokteran tapi berani-beraninya mengobati orang sakit.

Baca Juga: Jangan Ragu, Psikolog Bisa Bantu Pecahkan Masalah Kita dan Pasangan dengan 4 Tahap Ini

“Syarat untuk punya lisensi sebagai psikolog klinis itu rumit dan enggak sembarangan. Jenis psikolog juga banyak. Dan, ini yang jarang diketahui oleh orang,” jelas Dra. Suhati Kurniawati, Psikolog dari HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia), dan IPK (Ikatan Psikolog Klinis). 

Mungkin banyak orang beranggapan cara kerja psikolog cukup mudah.

“Cuma” mendengarkan keluhan kliennya, lalu memberikan nasihat sebagai solusinya.

Baca Juga: Jangan Ragu, Psikolog Bisa Bantu Pecahkan Masalah Kita dan Pasangan dengan 4 Tahap Ini

Padahal, dalam proses konsultasi, seorang psikolog menggali cerita klien menggunakan tahapan dan metode yang terstruktur.

Cara yang keliru bisa berakibat fatal. 

Kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap praktik psikolog inilah yang memberikan celah bagi oknum tertentu untuk mengaku sebagai “psikolog”. 

Baca Juga: Hadapi Kondisi Hingga Titik Nol, Ini Penjelasan Psikolog Rieny Hassan di Perempuan Inspiratif NOVA 2017

Praktik Psikolog Bodong Menjamur, Ini Saatnya Memilih yang Asli (NOVA/ARYODHIA)

Perlu Jenjang S2

Seperti kata Iin—demikian Suhati Kurniawati biasa disapa, tidak semua lulusan psikologi itu bisa melakukan praktik psikolog dan mendapatkan gelar sebagai psikolog.

Karena, HIMPSI sebagai lembaga yang memberikan lisensi kepada psikolog, mereka harus melihat dahulu jenjang pendidikan orang tersebut. 

“Gini, S1 lulusan psikologi itu bukan psikolog. Dia enggak boleh mengaku sebagai psikolog, karena hanya diajarin teori saja. Jurusan psikolog juga banyak, ada yang untuk klinis, industri, pendidikan,” jelasnya. 

Baca Juga: Psikolog Ungkap Penyebab Masalah Menantu dan Mertua Sering Tidak Akur

 

Seorang psikolog setidaknya membutuhkan jenjang pendidikan lanjutan seperti S2 untuk bisa mendapatkan lisensi psikolog.

Tentunya, ia harus memilih jurusan psikologi klinis bukan pendidikan atau sains. 

“Nah, sebutan psikolog itu ada lisensinya, yang terlihat di gelar belakang. Misalnya, M.Psi, Psikolog. Ada lagi gelar M.Si, yaitu psikologi sains, bukan psikolog. Ada juga psikologi terapan, itu juga bukan psikolog,” jelasnya.

 Baca Juga: Psikolog Ungkap Alasan Mengapa Perempuan Modern Lebih Mudah Ucapkan Cerai

Sedangkan untuk kasus Dedy Susanto, kalau dilihat-lihat, ia hanya memiliki latar belakang pendidikan S3 Psikologi, sedangkan S1 dan S2-nya bukan di bidang psikologi, melainkan bidang ekonomi dan Magister Manajemen.

Barulah S3, ia mengambil psikologi. Sehingga secara teori, semestinya ia tidak bisa membuka praktik konsultasi psikolog.

Masih menurut Iin, untuk mendapatkan lisensi psikolog, seorang psikolog harus tahu betul pekerjaannya bertujuan untuk membantu orang, bukan mencari keuntungan semata.

“Iya, kami memang bertugas untuk membantu orang. Benar-benar tulus. Dia juga harus siap sepanjang hidupnya jadi tempat sampah curhatan orang. Benar-benar berat,” jelasnya.(*)