NOVA.id - Rasa cemas memang hal yang wajar, terutama jika kita berada dalam kondisi tertentu yang menakutkan.
Misalnya saja menghadapi pandemi ini, wajar bila kita khawatir tertular atau cemas anak-anak terjangkit.
Tapi, rasa cemas ini jadi tidak wajar bila sampai memicu tubuh mengeluarkan respon berlebihan.
Baca Juga: 7 Cara Ini Bisa Membantu Kita Mengurangi Kecemasan Berlebihan
Seperti apa, ya?
Kerja otak kita diibaratkan seperti garis lurus di mana titik tengah menunjukkan masa sekarang, sisi kiri adalah masa lalu, dan sisi kanan adalah masa mendatang.
Nah, kadang kala isi pikiran kita suka lompat dan bermain ke periode masa depan atau mundur ke periode masa lalu.
Menurut Roslina Verauli, M.Psi., Psi., psikolog klinis anak, remaja, dan keluarga, ketika isi pikiran lari, maka perasan dan aksi akan mengikuti.
Ya, ketiga hal tersebut berhubungan seperti segitiga.
Isi pikiran akan selalu selaras dengan apa yang dirasakan, apa yang dirasakan akan selau selaras dengan apa yang dipikirkan dan dilakukan.
“Sebetulnya, pikiran, aksi-aksi, dan emosi kita sering kongruen (sebangun, red.) dan ini ciri orang sehat. Misalnya, kita khawatir, Nanti kalau aku sakit gimana? Lalu kita cemas, kemudian kita melakukan sesuatu untuk tubuh kita agar tidak sakit. Nah. yang jadi masalah adalah jika isi pikiran tersebut berulang-ulang kejauhan, enggak bisa dikendalikan, dan emosinya meluap-luap berlebihan,” ujar Roslina Verauli dalam sesi #CurhatinVerauliFans Berdamai dengan Kecemasan, di Instagram Live bersama Meira Anastasia beberapa waktu lalu.
Kalau sudah sampai meluap-luap berlebihan, kondisi ini disebut sebagai penyakit gangguan kecemasan atau anxiety disorder.
Kecemasan tidak mampu dikendalikan dan malah menjadi makin rumit hingga membuat gelisah.
Baca Juga: Pola Makan Pengaruhi Stres, 2 Makanan Ini Paling Jitu Redakan Stres dan Kecemasan!
Gejala bisa muncul dalam bentuk pikiran pikiran berulang yang menimbulkan ketakutan, hati berdebar-debar setiap malam, kaki dan tangan terasa sangat dingin, sesak napas, sukar tidur, dan terkadang memicu serangan panik.
Parahnya, gangguan kecemasan bisa mengganggu aktivitas kita.
Misalnya tak bisa mengurus anak-anak dan pasangan karena terlalu cemas, tidak mampu fokus pada pekerjaan, atau bukan tak mungkin enggak sanggup keluar rumah.
Baca Juga: Banyak yang Tak Tahu, Ini 6 Fakta dan Mitos Soal Kesehatan Mental
“Jadi, catatannya, kapan kecemasan normal dan enggak normal adalah ketika fungsi-fungsi kita, kemampuan kita menjalani kehidupan sehari-hari menjadi terhambat. Itu baru dikatakan enggak normal,” jelas Verauli tegas.
Saat kita merasa cemas, pertama-tama kita perlu memahami situasi yang memicu kecemasan itu muncul.
Kadang-kadang saat kecemasan datang kita emosional berlebihan, sehingga tidak paham kapan kecemasan biasa muncul dan dianggap random pada segala situasi.
Baca Juga: Depresi: Obati dengan Berolahraga
Padahal tidak.
Maka itu, kita harus terbiasa melatih diri untuk rasional demi mengetahui pemicu kecemasan dan bisa mengambil tindakan untuk mengatasinya.
Latihan ini berpusat pada konsep here and now atau “di sini, kini”.
Seperti meditasi atau mindfulness.
Hal ini juga bisa melatih mengembalikan pikiran kita yang sudah jauh lari dan melompat tadi.
“Biasanya saat orang lagi cemas, maka yang menguasai lebih besar adalah emosinya. Sehingga, kita gagal menggunakan rasio bahwa sebetulnya yang terjadi di dunia nyata ini terkendali, kok. Jadi, saat kecemasan muncul, ada respon badan yang berlebihan, maka itu kita perlu latihan untuk mengendalikannya,” jelas Verauli.
Tapi, jika tidak bisa menangangi sendiri dan sangat mengganggu aktivitas kita, maka segeralah cari bantuan pakar.
Jika kecemasan dipicu karena masalah psikologi psikososial dan berulang atau karena trauma masa lalu, kita bisa ke psikolog klinis di rumah sakit terdekat.
Dapatkan pembahasan yang lebih lengkap dan mendalam di Tabloid NOVA.
Yuk, langsung langganan bebas repot di Grid Store.(*)