Autisme: Terapi Tak Tepat, Penanganan Jadi Lambat

By nova.id, Jumat, 16 Mei 2014 | 10:05 WIB
Autisme Terapi Tak Tepat Penanganan Jadi Lambat (nova.id)

Autisme Terapi Tak Tepat Penanganan Jadi Lambat (nova.id)

"Foto: Getty Images "

Autisme berasal dari kata "auto" dan "isme" yang berarti "within himself" atau "dalam dunianya sendiri". Data terbaru dari Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa prevalensi autisme anak usia 5-19 tahun di Indonesia 1,68 per 1.000. Bila jumlah anak di usia tersebut berdasar data dari BPS ada 66.000.805, maka diperkirakan ada 112.000 anak penyandang autisme di Indonesia.

Sebagai perbandingan di Amerika angkanya 1:80, artinya di antara 80 anak ada satu penyandang autisme. Sedangkan UNESCO mencatat setidaknya ada 35 juta penyandang autisme di seluruh dunia atau 6 dari 1.000 penduduk bumi.

Perkembangan terbaru dalam diagnosa autisme ditandai oleh kehadiran kriteria diagnosa DSM (Diagnostic and Statistical Manual)-V sejak Mei 2013.

Dibandingkan dengan DSM-IV-TR sebelumnya, ada sedikit perubahan pada DSM-V. Pada DSM-IV-TR, autisme masuk ke dalam kelompok gangguan PDD (pervasive development disorder), yakni gangguan khas yang muncul pada usia-usia perkembangan. Tiga kriteria PDD yakni komunikasi terhambat, interaksi sosial terhambat, dan ada pola perilaku yang stereotip. Selain autisme, tipe-tipe PDD antara lain Asperger, sindrom RETT, gangguan CDD (Childhood Disintegrated Disorder), PDD-NOS (not otherwise specified).

Pada DSM-V, diagnosis autisme jauh lebih sistematis dan komprehensif. "Cara mendiagnosis kelompok autisme tidak seperti pada DSM-IV-TR yang kurang sistematis karena ada beberapa gangguan autisme yang tidak ter-cover, seperti gangguan sensoris," jelas kata Roslina Verauli, M.Psi., psikolog dari PacHealth@ThePlaza, Jakarta. Asal tahu saja, gangguan autisme biasanya juga diiringi gangguan sensoris, misalnya peka terhadap bunyi-bunyian tertentu (hipersensitif), atau sebaliknya hiposensitif.

Dua GejalaPada DSM-V, autisme disebut dengan autisme spectrum disorder (ASD) dan masuk dalam neuro developmental problems (NDP). "Diagnosisnya lebih jelas dan bahkan orangtua bisa melihat gejala sejak masih dini," terang psikolog yang akrab disapa Vera ini. Gejalanya antara lain hiperaktivitas, hipoaktivitas dan stimulasi sensoris. Misalnya, ada anak yang sedikit disentuh saja sudah sangat terganggu, ada yang terjatuh sampai berdarah-darah tapi tidak bereaksi kesakitan, dan sebagainya.

Menurut DSM-V, gejala ASD secara garis besar ada dua, yakni pola komunikasi atau pola interaksi sosial yang minim dan pola perilaku yang berulang.

Pada pola komunikasi atau pola interaksi sosial, dilihat apakah ada timbal balik emosi dan aspek non-verbal yang ditunjukkan anak? Misalnya, ketika diajak berkomunikasi, apakah anak bergeming atau tidak terganggu? Atau, ketika diajak ngomong, apakah anak tidak mampu melakukan kontak mata? Sebagai catatan, kontak mata juga terkadang mengambarkan gangguan lain.

Sementara aspek non-verbalnya adalah apakah anak menunjukkan ekspresi ketika diajak berkomunikasi atau berinteraksi? "Harusnya, muncul ekspresi ketika kita berkomunikasi atau berinteraksi, kan? Misalnya, balas tersenyum saat diajak tersenyum. Atau, datar saja? Beberapa anak dengan ADS juga tidak menunjukkan intonasi ketika berbicara alias rata (flat) dan penggunaan bahasa yang formal," lanjutnya.

Gejala kedua adalah pola perilaku yang berulang. Sebelumnya, kriterianya hanya perilaku. Namun kini dikembangkan menjadi perilaku, minat atau kegiatan yang berulang. Misalnya, sehari-hari anak tertarik objek pola kegiatan tertentu seperti sebuah judul video. Anak akan menontonnya berkali-kali dalam sehari. Malah, bisa berlangsung selama setahun hingga dua tahun tanpa bosan. Kalau diganggu, anak akan sangat marah karena dianggap mengganggu ritual.

Bisa juga anak tertarik melakukan ritual rutin yang sudah ada urutannya. Jika dilewatkan sedikit saja, anak akan menjadi sangat tidak nyaman. Misalnya, setiap masuk rumah, dialah yang harus membuka pintu dan menyalakan AC. Jika orang lain yang membuka pintu, anak akan sangat marah. Bisa juga anak tertarik dengan pola visual tertentu, bagian tertentu dari objek, atau memainkan alat mainan secara tidak tepat.

Penanganan Sejak AwalKapan muncul gejala ASD? Vera menegaskan, bahkan sejak awal kehidupan. Akan tetapi, hal yang berkaitan dengan pola komunikasi, umumnya baru akan terlihat ketika kemampuan komunikasi anak sudah berkembang. "Anak usia 2 - 3 tahun, kemampuan berbahasanya sudah berkembang dan bisa mengobrol dua arah dengan sangat baik, sementara pada anak-anak ASD, kemampuan ini tidak muncul."

Jadi, gejala ASD akan sangat kelihatan di usia 2 - 3 tahun. "Namun, sebetulnya sudah sejak lebih awal bisa dilihat karena anak sudah memiliki pola-pola yang tadi. Pola perilaku juga muncul di berbagai situasi, tidak cuma di rumah atau sekolah."

Pembagian ASD didasarkan pada level berat-ringan. Level terberat adalah Level 3, sedang Level 2, dan paling ringan Level 1. "Ini ditinjau dari kebutuhan anak akan support atau dukungan dari sekitarnya. Pada Level 1, anak mungkin hanya butuh minimum support, Level 2 support yang cukup besar, sementara Level 3 selalu butuh support," ujar Vera. Misal, anak bisa ngomong tapi kadang tidak nyambung, berarti anak masih di Level 1. "Dia paham temannya malu, tapi tidak tahu malu itu seperti apa. Jadi, masih butuh supervisi."

Terapi yang SalahDengan DSM-V, "Orangtua menjadi paham, mampu mendeteksi dini lebih baik, serta memahami kebutuhan support anak ada di Level mana? Support bisa berupa terapi, bisa juga pengawasan, atau bisa dilepas. Misalnya, anak ASD masuk ke sekolah inklusi tapi tidak diawasi."

Hal ini juga berkaitan dengan terapi yang tepat untuk anak ASD. Kalau dilihat dari dua pola dasarnya, maka yang perlu dibenahi di awal adalah pola yang menghambat anak untuk berkomunikasi. "Ingat, sejak lahir, individu sudah punya refleks. Ada beberapa anak yang refleksnya tidak berkembang, termasuk anak-anak ASD."

Refleks yang tidak berkembang akan memengaruhi sensor motorisnya. Anak dengan ASD selalu memiliki gangguan sensoris. Kalau sensor motorisnya tidak berkembang optimal, atensi konsentrasinya minim dan kemampuan bicara tidak berkembang, maka terapi awal yang disarankan adalah OT (occupational therapy).

OT adalah latihan yang membutuhkan usaha mental dan SI (sensory integration) untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan masalah sensomotoris. Di usia 1-2 tahun, biasanya akan terlihat gejala berkembang ke arah mana, dan sudah diantisipasi dengan terapi OT-SI.

Terapi yang tidak tepat biasanya disebabkan ketidaktahuan orangtua tentang masalah dasarnya. "Anak tidak bisa bicara, langsung diberi terapi wicara. Padahal, untuk bisa bicara, ada tahap awal seperti anak bisa memberikan atensi kepada orang lain. Kalau atensi belum ada terus dikasih terapi wicara, ya tidak tepat," jelas Vera.

Contoh lain, anak mengalami ganguan sensoris, lalu diberi terapi perilaku. Padahal, seharusnya masalah sensoris yang dibenahi dulu dengan OT-SI. Inilah sebabnya, tandas Vera, kenapa terapi selama bertahun-tahun tidak menghasilkan kemajuan. "Karena tidak tepat sasaran."

Seharusnya, atensi dilatih agar lebih berkembang dan hambatan sensorinya diatasi, sehingga dia mulai bisa berkomunikasi. Baru ke depannya, dinaikkan step-nya dengan memberi terapi wicara dan terapi perilaku. "Di usia 4-6 tahun, ditambahkan terapi yang berkaitan dengan belajar (remedial teaching) untuk persiapan masuk sekolah, atau pedagogik. Terapi sebelumnya tetap diteruskan jika masih ada masalah."

Orangtua mesti paham bahwa terapi psikologis unik untuk setiap anak dan tidak selalu cocok, jadi orangtua harus rajin mencari terapi yang cocok bagi anak. Selain itu, ada lagi pendekatan medis. "Secara medis akan dilihat apakah anak memiliki hambatan fisik, misalnya gangguan pencernaan atau alergi. Karena, anak ASD sering terlahir dengan masalah-masalah medis tertentu."

Vera mengingatkan bahwa selama ini orangtua hanya peduli aspek kesehatan fisik melalui pemeriksaan medis, seperti lingkar kepala, tinggi dan berat badan, dan vaksinasi. "Kualitas tumbuh kembang anak belum diperhatikan dan orangtua sering tidak paham. Jadi, pemeriksaan psikologis sebaiknya dilakukan seawal pemeriksaan medis untuk memastikan kualitas tumbuh kembangnya baik".

Hasto Prianggoro