Tragedi Saat Merapi Erupsi Lagi (1)

By nova.id, Selasa, 9 November 2010 | 17:05 WIB
Tragedi Saat Merapi Erupsi Lagi 1 (nova.id)

Tragedi Saat Merapi Erupsi Lagi 1 (nova.id)
Tragedi Saat Merapi Erupsi Lagi 1 (nova.id)
Tragedi Saat Merapi Erupsi Lagi 1 (nova.id)

"Foto: Krisna "

DIKEJAR AWAN PANAS

Sejak Jumat (5/11), suasana terasa begitu mencekam di RS Dr. Sarjito, Yogyakarta. Terutama setiap kali lamat-lamat terdengar suara sirene ambulan datang. Wajah-wajah murung pun tampak menunggu dan berharap-harap cemas. Salah satunya wajah, Anto, warga Desa Jaranan, Cangkringan, Sleman. Ayah Anto, Sudarjo, tergolek lemah di ruang perawatan khusus untuk korban awan panas Merapi. "Belum sadar juga," kata Anto ketika ditemui lagi siang harinya. "Kata dokter, kondisinya 80 persen terbakar. Bapak belum bisa diajak bicara," ujar Anto sedih.

Ia makin sedih karena tak bisa mendampingi langsung sang ayah. Ruangan terlalu penuh karena banyak korban lain. Sepanjang tengah malam sampai pagi, ambulan, mobil pribadi, dan truk yang membawa korban awan panas, terus berdatangan.

Anto juga masih tak percaya keluarganya akan menjadi korban "wedhus gembel". Pasalnya, lokasi dusunnya 15 Km dari puncak Merapi. "Meski rumah ada di tepi Sungai Gendol, tapi kami tidak khawatir bakal kena awan panas. Soalnya, selama ini memang tidak pernah terjadi." Bahkan malam sebelumnya, dusunnya justru dijadikan lokasi baru pengungsian dari Dusun Glagahrejo setelah Pemerintah menetapkan radius aman Merapi menjadi 15 Km. "Daerah kami masuk bahaya ke-3. Kami tidak pernah diminta mengungsi, cuma diminta siap-siap saja."

Namun, perasan warga memang sudah tak enak malam itu. Sejak sore, terdengar suara gemuruh dari puncak Merapi. "Suaranya jelas sekali. Seperti di atas kami," kata Anto. Jadilah malam harinya Anto dan seluruh keluarga sengaja begadang di teras. Sekitar pukul 24.15 suara gaduh terdengar dari arah Sungai Gendol. Hanya dalam hitungan detik, awan putih menyerang rumah Anto. "Kami semua tunggang-langgang menyelamatkan diri."

Yang ada di pikiran Anto saat itu hanyalah bagaimana nasib keluarganya. Secepat kilat ia lari ke arah dapur bersama dua adik dan ibunya. "Setelah di dapur, saya baru sadar, Ayah enggak ada. Saya balik ke teras dan melihat Ayah sudah jatuh. Saya berusaha menyeretnya meski masih ada sisa awan panas. Tapi ternyata tidak banyak menolong," paparnya lirih. Masuknya awan panas dari luapan Sungai Gendol, kata Anto, akibat tembok batako di depan rumahnya. "Awan panas mula-mula membentur tembok, lalu mengarah ke teras, tempat kami duduk."

Anto tak putus menyesali, kenapa saat itu ia sibuk menyelamatkann diri sampai melupakan sang ayah. "Waktu itu yang terpikir cuma bagaimana bisa menyelamatkan diri. Saya enggak ingat apa-apa lagi."

Nasi sudah menjadi bubur. Pria yang sehari-hari menjadi penambang pasir ini hanya bisa berharap ada keajaiban untuk ayahnya. "Tapi kalau lihat kondisinya, tipis rasanya harapan. Makanya saya cuma bisa berdoa," ujar Anto pilu.

Sita, Krisna / bersambung