Aktivisme akan menjadi tren baru bagi generasi muda di awal dekade ini.
Aktivisme yang berpadu dengan kreativitas dan aktivisme yang lebur dengan musik serta seni pertunjukkan.
Permasalahan intoleransi yang berkembang di tengah masyarakat serta menghantui kebinekaan kita sebenarnya dapat diselesaikan dengan pendekatan terbaik apabila generasi muda diberikan ruang untuk berperan.
Salah satunya melalui musik sebagai medium empati yang paling jitu.
Intoleransi tidak tepat dilawan dengan berbagai larangan-larangan baku, maupun indoktrinasi.
Paradigma konvensional ini perlu segera kita tinggalkan karena tidak sejalan dengan nilai-nilai kultur populer abad ke-21.
Sejarah konggres pemuda membuktikan bahwa pemuda-pemudi adalah agen kebinekaan yang terbaik.
Di tempat lain, musik adalah bahasa universal serta populer yang dapat menembus berbagai rintangan psikologis.
Hanya musik yang mampu untuk menembus kalbu manusia tanpa perlawanan sengit.
Baca Juga: Mampu Wujudkan Mimpinya Meski Pernah Ditertawakan Orang, Sandra Dewi Tak Gentar: Saya Puas Rasanya
Aktivisme pada abad ke 21 adalah aktivisme yang menempatkan musik dan generasi muda pada poros utama.
Kita perlu ingat bahwa, melalui musik dan aktivisme Wage Rudolf Supratman Imajinasi Indonesia lahir.
Di masa depan melalui musik dan aktivisme pula Imajinasi tersebut akan terus ada. (*)
Artikel ini ditulis oleh Dr. Muhammad Faisal, founder Youth Laboratory Indonesia, youth researcher, dan penulis Generasi Kembali ke Akar serta telah tayang di laman Kompas.com dengan judul Intoleransi Mengancam, Generasi Muda Bertindak.
Penulis | : | Dionysia Mayang Rintani |
Editor | : | Dionysia Mayang Rintani |
KOMENTAR