Musik sebagai piranti empati
Pada saat kongres Pemuda II, Wage Rudolf Supratman masih berusia sekitar 25 tahun.
Dengan empat senar biolanya Wage berhasil menyentuh batin para peserta konggres untuk mengesampingkan perbedaan, menyatukan keinginan, serta mengukukuhkan imajinasi akan komunitas baru bernama Indonesia.
Sejalan dengan itu, Ernest Renan seorang filsuf terkemuka dari Perancis mengatakan dalam bukunya Qu’est-ce qu’une nation (apa itu sebuah bangsa), bahwa bangsa baru akan berdiri ketika terdapat keinginan besar untuk hidup bersama, dan ketika seluruh yang terlibat telah berhasil melepaskan berbagai identitas premordial mereka.
Baca Juga: Sedih Ditinggal Roger Ibadah Umrah, Cut Meyriska Kangen hingga Tidur dengan Pakaian Suami
Merenungi kembali kiprah pemuda-pemudi di era revolusi kemerdekaan, kita akan menyadari bahwa para pemuda-pemudi telah berhasil untuk melepas segala bentuk fanatisme, etnosentrisme, dan egosentrisme mereka demi Indonesia.
Mereka adalah aktor utama di balik semangat keberagamaan.
Sembilan fungsi Pancasila(shutterstock.com) Pop Culture, yang kini menjadi bahasa utama generasi muda dalam berekspresi, juga merupakan sebuah kultur yang merayakan keberagaman.
Sebab, kultur populer senantiasa bersifat demokratis, ia merupakan agregasi juga akumulasi nilai-nilai anak muda yang berada pada arus tengah.
Musik sebagai bagian dari kultur populer, tetap menjadi medium paling kuat dalam menyuarakan keberagaman.
Berbagai temuan terkini dalam bidang neurosains mendukung hal tersebut, yaitu bahwa musik dapat mengoptimalkan berbagai simpul bagian otak manusia yang berhubungan dengan empati.
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
Penulis | : | Dionysia Mayang Rintani |
Editor | : | Dionysia Mayang Rintani |
KOMENTAR