Pulang ke Indonesia, masalah muncul lagi. Kami tinggal di rumah mertua saya sambil membangun rumah dengan sisa uang penjualan rumah dan tambahan uang saya ratusan juta rupiah hasil bekerja di sana plus pinjaman dari mertua saya.
Tapi namanya bangun rumah, banyak sekali uang yang keluar ya, Bu. Alhamdulillah, saya masih punya uang tabungan lagi. Suami saya pinjam uang saya lagi sebesar hampir ratusan juta.
Sekembalinya ke Tanah Air, pekerjaan suami saya tidak seperti yang dibayangkannya. Untuk kembali ke jabatan semula, butuh waktu hampir 1 tahun dan itu sangat memengaruhi kehidupan keuangan kami.
Saya sudah tidak bekerja lagi, Bu. Jadi, sehari-harinya kami menumpang “hidup” sama mertua. Kondisi psikologis suami saya jadi sensitif dan temperamental ke saya. Tidak jarang kami konflik.
Seperti biasa, saya hanya bisa menangis, karena kalau saya menjawab kemarahan, dia akan tambah “meledak”. Saya hanya diam.
Pada saat pinjaman bank cair, suami saya membayar utangnya ke mertua saya, tapi tidak ke saya.
Saya pelan-pelan meminta uang saya kembali, berapa pun itu untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi susahnya minta ampun, Bu. Saya kayak pengemis meminta uang saya. Padahal saya minta uang saya, bukan minta uangnya.
Saya sedih, Bu. Saya istrinya. Ibu dari anak-anaknya. Tapi dia sama saya perhitungan sekali.
Selama menikah, saya tidak pernah menyusahkan dia dengan meminta barang-barang apa pun itu ke dia. Saya beli dengan uang saya sendiri, hasil jerih payah saya.
Karena saya merajuk terus sama dia, akhirnya suami saya memberi juga uang saya sebesar Rp5 juta.
Itu pun dengan kemarahan…
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Lagi, Aku Lihat Ayah Bermesraan Masuk Apartemen
Penulis | : | Rieny Hassan |
Editor | : | Made Mardiani Kardha |
KOMENTAR