NOVA.id - Tulisan Konsultasi Psikologi ini merupakan surat kiriman pembaca NOVA yang dijawab oleh psikolog Rieny Hassan.
Aku menagih utang ke suami seperti pengemis, sangat sulit. Padahal jumlahnya mencapai ratusan juta rupiah dan itu adalah hasil keringatku. Kenapa pada saya dia pelit sekali?
TANYA
Yth. Ibu Rieny,
Perkenalkan, nama saya X, ibu rumah tangga umur 45 tahun. Usia pernikahan saya dan suami hampir mencapai 21 tahun.
Suami saya PNS dengan karier yang bagus. Yah, kalau orang melihat, kami adalah keluarga bahagia dan ideal dengan dua pasang anak.
Lima tahun yang lalu, suami saya mendapatkan program beasiswa S3 ke luar negeri. Kami sekeluarga ikut semua dengan anak-anak yang beranjak remaja pada saat itu.
Kami berangkat ke luar negeri dengan bismillah karena rumah tempat tinggal kami beserta isinya termasuk mobil, kami jual buat modal kami di perantauan.
Saya meninggalkan pekerjaan di bidang finance juga. Alhamdulillah, kami masih punya kaveling jikalau kami nanti balik ke Tanah Air, bisa kami bangun kembali.
Akhirnya suami mendapatkan beasiswa S3 yang sudah lama diinginkannya meskipun beasiswanya hanya untuk satu orang saja.
Selama di sana, kehidupan kami up and down…
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Saya Cantik, Pintar, tapi Lajang dan Kesepian
Selama di sana, kehidupan kami up and down mendampingi suami yang mood-nya naik turun karena tekanan dari studinya. Suami fokus dengan studinya dan saya sukurlah bisa bekerja menjadi cleaning service bersama teman-teman Indonesia lainnya.
Meskipun capek, saya sangat bahagia dengan kehidupan kami di sana, Bu, karena penghasilan lumayan dan saya bisa menabung. Saya bangga bisa membantu keuangan suami.
Pemberian beasiswa suami saya itu dibayar di muka per tiga bulan sekali atau pernah setiap enam bulan sekali. Di sinilah awal dari masalah kami.
Jadi, selama pernikahan kami, suami saya tipe laki-laki yang perhitungan sama istrinya. Sangat royal sama anak-anaknya, namun boros.
Pada saat pemberian beasiswa, suami tidak hitung bahwa beasiswanya untuk 6 bulan ke depan. Alhasil, baru dua bulan, uang sudah habis.
Saya sangat marah dan kecewa sama dia. Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menangis. Teganya dia, saya yang bekerja keras, dia seenaknya habiskan uang.
Kalau saya tanya, dengan gampangnya dia bilang bahwa beasiswa sudah habis untuk keluarganya dan banyak keperluan, lalu pinjam ke saya sampai sekitar Rp100 juta.
Janjinya akan diganti. Tapi pada kenyataannya, hampir tidak. Artinya, dia cicil bayar ke saya, plus kalau anak-anak kami ada keperluan sekolah, saya menyumbang juga dengan dipotongnya piutang tersebut.
Pada akhirnya, saya putihkan. Ya sudah Bu, saya ikhlaskan uang saya tersebut.
Alhamdulillah, suami saya lulus S3-nya, begitu pula dengan anak saya lulus SMA. Kami semua sudah kembali ke Tanah Air tercinta, memulai dari nol dengan kehidupan yang baru. Berat rasanya saya meninggalkan negeri itu, Bu.
Pulang ke Indonesia, masalah muncul…
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Adik yang Aku Rawat Meninggal, Ibu Menghilang
Pulang ke Indonesia, masalah muncul lagi. Kami tinggal di rumah mertua saya sambil membangun rumah dengan sisa uang penjualan rumah dan tambahan uang saya ratusan juta rupiah hasil bekerja di sana plus pinjaman dari mertua saya.
Tapi namanya bangun rumah, banyak sekali uang yang keluar ya, Bu. Alhamdulillah, saya masih punya uang tabungan lagi. Suami saya pinjam uang saya lagi sebesar hampir ratusan juta.
Sekembalinya ke Tanah Air, pekerjaan suami saya tidak seperti yang dibayangkannya. Untuk kembali ke jabatan semula, butuh waktu hampir 1 tahun dan itu sangat memengaruhi kehidupan keuangan kami.
Saya sudah tidak bekerja lagi, Bu. Jadi, sehari-harinya kami menumpang “hidup” sama mertua. Kondisi psikologis suami saya jadi sensitif dan temperamental ke saya. Tidak jarang kami konflik.
Seperti biasa, saya hanya bisa menangis, karena kalau saya menjawab kemarahan, dia akan tambah “meledak”. Saya hanya diam.
Pada saat pinjaman bank cair, suami saya membayar utangnya ke mertua saya, tapi tidak ke saya.
Saya pelan-pelan meminta uang saya kembali, berapa pun itu untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi susahnya minta ampun, Bu. Saya kayak pengemis meminta uang saya. Padahal saya minta uang saya, bukan minta uangnya.
Saya sedih, Bu. Saya istrinya. Ibu dari anak-anaknya. Tapi dia sama saya perhitungan sekali.
Selama menikah, saya tidak pernah menyusahkan dia dengan meminta barang-barang apa pun itu ke dia. Saya beli dengan uang saya sendiri, hasil jerih payah saya.
Karena saya merajuk terus sama dia, akhirnya suami saya memberi juga uang saya sebesar Rp5 juta.
Itu pun dengan kemarahan…
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Lagi, Aku Lihat Ayah Bermesraan Masuk Apartemen
Itu pun dengan kemarahan yang luar biasa. Alasannya, masih banyak keperluan yang lain.
Biarlah, saya sudah biasa dimarahi sama dia. Yang penting, sedikit demi sedikit uang saya kembali meskipun hanya Allah yang tahu.
Sebenarnya saya sangat malu minta uang ke suami saya. Tapi kalau tidak diminta, kadang tidak mengerti. Kalau suami saya orang yang bisa memegang uang, saya tidak masalah dia memegang uang keluarga kami.
Saya sering menangis dan memohon pada Allah SWT supaya suami dibukakan pintu hatinya untuk saya. Saya hanya ingin menyelamatkan keuangan keluarga kami. Itu saja, Bu.
Apa tindakan saya salah? Mohon pencerahannya, Bu. Terima kasih dan mohon maaf sebelumnya.
X – Somewhere
JAWAB
Ibu X,
Terimalah simpati saya yang mendalam. Karena memiliki suami yang erat menggenggam uang adalah sebuah ketidaknyamanan yang luar biasa.
Benar kata Anda, kadang terasa seperti pengemis saat minta uang, padahal uang itu untuk memasak makanan yang dia makan, untuk biaya sekolah anak, dan rumah tangga.
Kikir Vs. Pelit
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Suamiku Suka Trolling, Memancing Kemarahan Orang
Kikir Vs. Pelit
Saya harus berterus terang pada Anda, Bu X, bahwa kikir, menurut saya levelnya ada di atas pelit. Ini adalah salah satu sifat dasar manusia. Perilaku yang hampir sama tetapi kemasannya lebih positif, adalah hemat.
Akar dari kikir adalah enggan berbagi serta sifat self-centered yang besar. Sementara hemat muncul dari kebiasaan untuk mengalkulasi secara cermat apa saja yang terjadi dalam hidup, termasuk pemakaian uang.
Ketika si kikir bisa mengubah diri menjadi lebih baik, biasanya dia bisa jadi sosok hemat.
Kenapa ke anak-anak dan saudara kandungnya dia bisa mengeluarkan uang dengan mudah? Karena itulah satu-satunya cara yang ia kenal untuk jadi happy.
Uang membuat ia merasa memiliki kuasa, bisa meraih cinta dari orang yang ia inginkan perhatian dan cintanya, serta menghindar dari penolakan anak dan sosok-sosok yang ia beri dengan mudah tadi.
Lalu, bagaimana dengan Anda? Istri biasanya dianggap “properti”, hak milik seperti halnya sepatu, atau barang-barang lain miliknya. Karena itu, tak perlu diperhatikan amat sangat, toh sudah jadi hak milik.
“Kok, tidak enak banget, sih, Bu Rieny.” Mohon maaf, memang demikian biasanya dinamika suami kikir.
Akan tetapi, selain pengalaman hidup di luar negeri, anak-anak punya modal bagus untuk meniti kehidupan kelak.
Anda pasti punya banyak hal yang mau tak mau harus diterima suami sebagai sebuah kenyataan, bahwa Anda punya hal positif. Bahkan di saat ia kepepet, penolongnya adalah Anda.
Hanya saja terlalu besar gengsinya…
Baca Juga: Mendadak Aku Insecure, Apakah Suamiku Membutuhkan Aku dan Anak-Anak?
Hanya saja terlalu besar gengsinya untuk mengakui itu. Apalagi sekarang, dengan jabatan tinggi yang ia raih karena gelar Doktor-nya.
Namun kita perlu tetap fokus pada upaya untuk membuat Anda tetap survive ya, Bu, buat diri Anda dan anak-anak. Sehingga saya ingin pembahasan tentang suami tidak kita lanjutkan.
Tetap Cari Uang Sendiri
Bagaimana agar Ibu X tetap survive seperti selama ini, sudah Anda buktikan. Bahwa Anda hebat, tangguh, dan smart secara finansial.
Tetaplah berusaha mencari uang sendiri dan kali ini jauhkan dari radarnya suami bahwa istrinya banyak uang. Simpan baik-baik. Bukan dengan niat mengelabui, tetapi mempersiapkan diri dengan cadangan.
Beri Catatan Pengeluaran
Duduk bersama suami harus dilakukan, Bu. Bukan perkawinan yang sehat kalau istri tidak bisa bicara pada suami. Kan, Anda katakan, sudah biasa juga, kok, dia marah.
Beri dia catatan pengeluaran keluarga yang harus dia penuhi. Fokus di situ, jangan melebar ke omongan tentang bantuan ke keluarganya, sifat royal ke siapa pun, dan pelit ke istri.
Jangan terpancing bicara itu, tetap batasi pada tujuan untuk membuat dia paham dan setuju bahwa uang sejumlah itu harus dia sisihkan untuk Anda kelola. Alasannya pasti banyak, di antaranya seperti untuk tabungan anak-anak dan sebagainya.
Kalau satu kali tak selesai bicara, kapan saja ada kesempatan, mulailah lagi. Dan jangan jemu meminta, kalau memang saat itu uang darinya sudah habis. Anda perlu punya jawaban kalau dia mengatakan, “Kan kamu punya penghasilan.”
Jawablah bahwa uang Anda…
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Suami Cacat, kok, Istri Malah Keluyuran
Jawablah bahwa uang Anda untuk makan bareng anak-anak, untuk membeli lipstik yang Anda tak pernah minta dari dia, beli tanaman bunga, ya kesenangan Andalah.
Yang gigih, ya, Bu, supaya suami tahu bahwa yang punya kekuatan berkehendak bukan hanya dia.
Pelihara Perasaan Positif
Di saat yang sama, jangan menutup diri dan perasaan di saat suami melakukan hal-hal positif, di luar manajemen keuangannya yang egois itu. Dia tetap suami yang punya banyak sisi positif, kan, Bu?
Nah, bila Anda bisa memelihara perasaan positif terhadap apa-apa yang positif di diri suami, hidup berumah tangga Anda pastinya tetap bisa balance dan harmonis, Bu.
Perbanyak aktivitas ibadah bersama dengan suami, juga dengan anak-anak. Insyaallah, berkah Allah melimpah nantinya, termasuk untuk melembutkan sifat kikir dan pemarahnya suami. Bisa, ya? Pasti bisa.(*)
Tulisan ini sudah pernah dimuat di tabloid NOVA, di rubrik Tanya Jawab Psikologi.
(Bila Anda ingin berkonsultasi dengan psikolog Rieny Hassan, silakan kirimkan kisah Anda ke email nova@gridnetwork.id dan tuliskan “Konsultasi Psikologi” pada subjek email. Tuliskan juga nama–boleh nama samaran–dan kota domisili Anda.)
Penulis | : | Rieny Hassan |
Editor | : | Made Mardiani Kardha |
KOMENTAR