Mau tak mau, suka tak suka, warga harus meninggalkan rumah dan tinggal di posko pengungsian. Termasuk anak-anak. Memang tak banyak yang bisa dilakukan para pengungsi ini mengingat kondisi yang serba terbatas. Anak-anak pun praktis tak pergi ke sekolah.
Untuk mengisi waktu luang, anak-anak berkumpul di lapangan terbuka. Untuk apa lagi kalau bukan bermain. Beberapa relawan tampak menemani mereka. Pendampingan, seperti diutarakan Ketua Lembaga Perlindungan Anak Provinsi DIY, Nyadi Kasmoredjo, memang harus diberikan. "Mereka harus tetap aktif mengisi keseharian, misalnya dengan bermain, untuk menghilangkan trauma."
Trauma yang dimaksud, bukan sekadar karena peristiwa letusan, tapi juga kondisi lingkungan pascagempa, keterbatasan di pos pengungsian, hingga psikologis orangtua mereka. "Semua itu dikhawatirkan bisa memengaruhi kondisi anak-anak."
Jadilah untuk menghibur mereka, Nyadi bersama kawan-kawan menciptakan berbagai permainan yang bisa dilakukan beramai-ramai. Antara lain, permainan pesan berantai. Tak hanya Nyadi, relawan lainnya, Hanif (32), juga menemani anak laki-laki bermain bola. Pria yang aktif di LSM ini langsung mendaftar menjadi relawan begitu status Merapi ditingkatkan.
Di posko pengungsian, kata Hanif, tak ada pembagian tugas secara khusus. Para relawan umumnya datang dan langsung menempatkan diri di pos-pos yang belum ditangani. "Kebetulan saya mudah dekat dengan anak-anak, makanya saya senang mengajak mereka bermain. Hari-hari pertama masih ada yang kelihatan murung, pendiam, tapi lama-lama kembali ceria. Yang penting, mereka enjoy," tutur Hanif.
Meski serba terbatas, beberapa anak mengaku gembira. "Senang bisa main bola," kata Jalu (6) dan Ifan (3). Kedua bocah itu juga tak lagi merasa takut dan siap tetap tinggal di Gunung Merapi. "Enak tinggal di gunung," ujar mereka.
Jika anak-anak senang, kata Nyadi, bisa membantu percepatan pemulihan psikologis para korban bencana. "Memang yang lebih stres adalah orang dewasa karena memikirkan nasib rumah dan ternak mereka. Dengan membuat anak-anak senang, beban pikiran orangtua mereka jadi bisa berkurang. Sebaliknya, kalau orangtuanya tidak stres, anak-anak bisa gembira."
Di malam yang sunyi senyap, kentongan pos ronda Dukuh Sawangan, Hargobinangun, Sleman, berbunyi riuh. Bukan karena ada pencuri. Bukan pula karena Merapi sedang batuk. Itu adalah "alarm" untuk menunjukkan pukul 03.00, saatnya ibu-ibu harus segera ke Pos Pengungsian Hargobinangun.
Inilah rutinitas ibu-ibu PKK Desa Hargobinangun setelah Merapi dinyatakan Waspada. Setiap hari mereka harus bangun sepagi itu untuk menyiapkan sarapan sekitar 4.500 pengungsi bencana Merapi. "Kami harus racik-racik sayuran," kata Mbah Rusinah (66). Hari itu, Kamis (28/10) adalah jatah Mbah Rusninah beserta sekitar 30 anggota ibu lainnya untuk "piket" di posko pengungsian.
Secara bergilir, Mbah Rusinah dapat jatah 12 hari sekali. Pembagian ini didasarkan jumlah dukuh di kelurahan Hargobinangun. Hanya saja, karena kampung Sawangan berseberangan dengan Posko Pengungsian, maka hampir setiap hari Mbah Rusinah membantu di dapur umum.
KOMENTAR