Karena frekuensi hubungan intim kami juga sangat rendah.
Tetapi, masalah ini tak saya pikirkan benar, saya punya kesibukan positif yang bisa menetralisir kebutuhan biologis saya, kok.
Cuma, saya makin resah, seiring waktu berjalan, saya bayangkan, akhirnya Ayah akan meninggal juga.
Lalu, saya punya momongan yang makin lama makin memburuk kondisinya tak punya anak, kalau saya bisa menuntaskan S-3 saya, suami sudah sejak awal tak mau ikut ke sana.
Tapi saya juga ragu, apa benar peluang itu masih ada?
Karena teman seangkatan sudah lama kembali dengan gelar doktornya.
Kini yang tersisa adalah hubungan baik dengan almamater dan karena saya rajin meneliti dan menulis di jurnal, saya masih beredar di orbit ini.
Salahkah kalau saya bercerai saja, Bu?
Maaf, saya tahu Ibu Rieny bukan penganut aliran perceraian.
Saya membaca NOVA sejak SMP karena Mama almarhumah adalah penggemar beratnya rubrik ini.
Saya senang karena Ibu lugas, tidak berandai-andai dan tak segan menjabarkan kesalahan penanya, tanpa terasa berpihak (wow, terlalu banyak tuh pujiannya, terima kasih, RH.).
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Kupikir Sibuk, Ternyata Pacarku Menikahi Perempuan yang Dihamilinya
Penulis | : | Rieny Hassan |
Editor | : | Maria Ermilinda Hayon |
KOMENTAR