Saya yakin, sebagai sosok berpendidikan tinggi, Anda sudah melahap habis informasi yang tersedia mengenai bipolar dan pertanyaan saya, apakah sudah Anda bagi ke suami?
Dalam kemasan informatif mestinya, dan bukan menyalah-nyalahkan Mas T.
Semisal, “Kan, sudah tahu Mas, obat harus diminum, kok, kayak anak TK, sih, mesti tiap hari aku yang sediakan”.
Karena, bisa saja, ia tahu tapi sekaligus ngharap bahwa sebagai istrinya, Andalah yang harus mengingatkan, membawakan si obat dan menungguinya minum obat sambil tersenyum penuh kasih?
Tidak gombal Bu, Karena ini ekspresi nyata dari apa yang kita dengung-dengungkan sebagai cinta, yang menumbuhkan kebutuhan untuk memberi perhatian dan kepedulian kita atas kenyamanan, kebahagiaan dan kesejahteraan pasangan hidup kita, bukan?
Secara sederhana, sebenarnya bahasa cinta setiap orang bisa berbeda-beda, tetapi RASA yang dihasilkan akan relatif sama, yaitu resonansi dari perasaan positif yang mustinya menyebabkan pasangan kita akhirnya percaya, yakin bahwa bersama kita, dia mengalami banyak perasaan positif sehingga tumbuh keinginannya untuk mempertahankan kenyamanan ini.
Caranya?
Melakukan yang ia senang kita akukan, memberinya apa yang ia harapkan dari kita, dan meyakinkannya bahwa kalau ada sesuatu yang perlu diubah, maka kita memang berubah bukan karena dia, tetapi karena kita tahu bahwa inilah salah satu cara kita untuk membuat diri kita bahagia.
Benar, kita dulu yang merasa bahagia, baru orang lain akan bisa kita buat bahagia.
Berikutnya, akan ada sebuah wawasan dalam pikiran kita, untuk membagi lagi ke[1]bahagiaan yang berawal dari apa yang dilakukan dan diberikan pasangan hidup kita, terus begitu.
Seperti sebuah lingkaran berkesinambungan, yang makin lama makin besar pengaruhnya pada kehidupan.
Baca Juga: Berkaca dari Raihaanun, Menikah dengan Penderita Bipolar Rentan Perselingkuhan?
Penulis | : | Rieny Hassan |
Editor | : | Maria Ermilinda Hayon |
KOMENTAR