NOVA.ID - Tulisan ini merupakan surat kiriman Sahabat NOVA yang dijawab oleh psikolog, DRA. RIENY Hassan dan pernah dimuat di Tabloid NOVA.
Tanya:
Bu Rieny yang terhormat, Saya harap-harap cemas Bu Rieny tak menjawab email saya ini, karena dianggap bukan masalah besar.
Padahal buat saya, ini benar benar membikin hidup serasa di jet coaster, sebentar saya bisa serasa melambung ke awan, lalu beberapa kejap, bukan sekejap maksudnya, saya sudah menukik lagi ke bawah.
Ke dasar dari rasa putus asa saya yang tak tahu harus berbuat apa.
Lelah rasanya menjalani hidup seakan tanpa kendali diri yang sehat.
Kalau sudah begini, saya jadi teringat reaksi almarhumah Ibu ketika saya mengutarakan niat untuk menikah dengan mantan pacar SMA saya.
“Nduk, ternyata pendidikan tinggi yang kau raih bukan hanya membuat kita berpisah lama karena sekolahmu yang di luar negeri itu. Tetapi juga membuat Mama tidak punya cukup waktu untuk mengajakmu berpikir dan melihat masalah perempuan dalam berumah tangga. Bahkan contoh yang Ayah dan Mama lakukan dalam perkawinan kami pun, banyak sekali yang tak kamu alami bersama kami.”
Saya meraih S-2 di Australia, benar-benar ngebut karena saya tak ingin berlama-lama di sana.
Saya anak tunggal dan waktu saya berangkat Mama baru pulih dari serangan jantung pertamanya.
Serangan kedua terjadi, saya ada di sana, dan tak bisa kembali ke tanah air, hanya meratap-ratap saja di sana.
Baca Juga: Mau Renovasi dan Beli Perlengkapan Rumah, Pakai Kartu Kredit atau Tunai?
Jangan heran ya Bu Rieny kalau Mama katakan lama sekali, padahal hanya tiga tahun dan setahun terakhir saya melakukan penelitian dasar (basic) untuk memantapkan disertasi saya.
Kelak, profesor saya sudah menjanjikan saya bisa lanjut hingga S-3 bila kondisi memungkinkan.
Saya pulang, kembali bekerja dan bertemu dengan Mas T, yang menghidupi dirinya sebagai seniman.
Melukis, main musik di cafe untuk nafkahnya dan punya banyak aktivitas di komunitas berkeseniannya.
Awalnya, saya terpukau oleh warna warni hidupnya, banyak ketemu orang, luwes bergaul dan cara ia memandang penyakitnya yang terasa ringan dan tak mengganggu itu.
Toh banyak seniman kaliber dunia, juga artis film terkenal yang bipolar, katanya.
Pesona itu nampaknya yang membawa saya mantap memutuskan untuk jalan bareng, menikah.
Mama meninggal 6 bulan yang lalu, dan saya tak punya “pengarah gaya” lagi dalam hidup saya Bu Rieny.
Tampaknya saja saya ini modern, mandiri dan cerdas.
Padahal di dalamnya, saya adalah anak manja yang tak sanggup menghadapi kesulitan hidup dan saya punya.
Mama yang biasanya membantu menyelesaikan masalah, karena ayah punya segunung cinta pada saya, tapi saya tak pernah lari ke beliau, kecuali untuk minta dipeluk dan disayang-sayang.
Baca Juga: Tidak Mau Menyentuhku, Suamiku Malah Nonton Video Porno Terus
Setelah menikah, baru saya tahu bahwa saat Mas T sedang diam, depresi, tak mau bicara, mandi ataupun ke luar kamar, adalah saat yang membuat saya juga merasa seperti tak punya tulang.
Lunglai.
Dan kalau ia sedang berada di euphorianya, bisa tidak tidur dua hari mengerjakan lukisan, atau mengaransemen lagu untuk grupnya, pokoknya kreatif Bu.
Menyuruh ke dokter untuk konsultasi saja, makin hari makin susah.
Awal menikah ia tertib minum obatnya dan gejala pun terkendali.
Tapi, sampai jenuh saya ingatkan, susah sekali membuatnya patuh.
Padahal, riset saya adalah tentang bagaimana mengembangkan tenik pengajaran yang memandirikan individu.
Tapi suami susah sekali saya ajak untuk memikirkan hidupnya dengan meninggalkan tamengnya, bahwa ia justru jadi kreatif karena bipolar.
Dan mulailah ia menyebut nama sederet seniman dan artis terkenal yang bipolar.
Aduh Bu Rieny, sungguh tak mudah.
Saya sudah menjelang 36 tahun, menikah terlambat untuk ukuran kampung saya, belum punya anak.
Baca Juga: Kalau Gaji Pas-pasan, Bagaimana Caranya Saya Bisa Beli Rumah?
Karena frekuensi hubungan intim kami juga sangat rendah.
Tetapi, masalah ini tak saya pikirkan benar, saya punya kesibukan positif yang bisa menetralisir kebutuhan biologis saya, kok.
Cuma, saya makin resah, seiring waktu berjalan, saya bayangkan, akhirnya Ayah akan meninggal juga.
Lalu, saya punya momongan yang makin lama makin memburuk kondisinya tak punya anak, kalau saya bisa menuntaskan S-3 saya, suami sudah sejak awal tak mau ikut ke sana.
Tapi saya juga ragu, apa benar peluang itu masih ada?
Karena teman seangkatan sudah lama kembali dengan gelar doktornya.
Kini yang tersisa adalah hubungan baik dengan almamater dan karena saya rajin meneliti dan menulis di jurnal, saya masih beredar di orbit ini.
Salahkah kalau saya bercerai saja, Bu?
Maaf, saya tahu Ibu Rieny bukan penganut aliran perceraian.
Saya membaca NOVA sejak SMP karena Mama almarhumah adalah penggemar beratnya rubrik ini.
Saya senang karena Ibu lugas, tidak berandai-andai dan tak segan menjabarkan kesalahan penanya, tanpa terasa berpihak (wow, terlalu banyak tuh pujiannya, terima kasih, RH.).
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Kupikir Sibuk, Ternyata Pacarku Menikahi Perempuan yang Dihamilinya
Saya pernah utarakan ini pada suami, ia menangis, lo, Bu.
Tidak tega sebenarnya, karena selain bi[1]polarnya, ia sungguh berusaha membuat saya bahagia, dan tidak menjadi beban buat saya.
Terima kasih, Bu.
Cempaka – somewhere
Jawab:
Dear Cempaka,
Banyak masalah keidupan memang tak bisa kita lihat dalam perspektif salah-benar, kecuali perselingkuhan ya, yang jelas-jelas salah.
Karena menurut hemat saya itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap komitmen perkawinan.
Selain dari itu, masalah perkawinan biasanya berakar pada kegagalan seseorang untuk memahami perspektif pasangannya tentang suatu permasalahan.
Bumbu-bumbunya adalah sikap tidak dewasa, atau bisa juga egoisme yang lapar, dan rasa takut tak beralasan yang menyebabkan seseorang tak mau belajar mengadopsi nilai kehidupan yang baru.
Juga sikap dan kebiasaan hidup yang lebih berkualitas.
Baca Juga: Konsultasi Psikologi: Aku Menagih Utang ke Suami Seperti Pengemis
Saya yakin, sebagai sosok berpendidikan tinggi, Anda sudah melahap habis informasi yang tersedia mengenai bipolar dan pertanyaan saya, apakah sudah Anda bagi ke suami?
Dalam kemasan informatif mestinya, dan bukan menyalah-nyalahkan Mas T.
Semisal, “Kan, sudah tahu Mas, obat harus diminum, kok, kayak anak TK, sih, mesti tiap hari aku yang sediakan”.
Karena, bisa saja, ia tahu tapi sekaligus ngharap bahwa sebagai istrinya, Andalah yang harus mengingatkan, membawakan si obat dan menungguinya minum obat sambil tersenyum penuh kasih?
Tidak gombal Bu, Karena ini ekspresi nyata dari apa yang kita dengung-dengungkan sebagai cinta, yang menumbuhkan kebutuhan untuk memberi perhatian dan kepedulian kita atas kenyamanan, kebahagiaan dan kesejahteraan pasangan hidup kita, bukan?
Secara sederhana, sebenarnya bahasa cinta setiap orang bisa berbeda-beda, tetapi RASA yang dihasilkan akan relatif sama, yaitu resonansi dari perasaan positif yang mustinya menyebabkan pasangan kita akhirnya percaya, yakin bahwa bersama kita, dia mengalami banyak perasaan positif sehingga tumbuh keinginannya untuk mempertahankan kenyamanan ini.
Caranya?
Melakukan yang ia senang kita akukan, memberinya apa yang ia harapkan dari kita, dan meyakinkannya bahwa kalau ada sesuatu yang perlu diubah, maka kita memang berubah bukan karena dia, tetapi karena kita tahu bahwa inilah salah satu cara kita untuk membuat diri kita bahagia.
Benar, kita dulu yang merasa bahagia, baru orang lain akan bisa kita buat bahagia.
Berikutnya, akan ada sebuah wawasan dalam pikiran kita, untuk membagi lagi ke[1]bahagiaan yang berawal dari apa yang dilakukan dan diberikan pasangan hidup kita, terus begitu.
Seperti sebuah lingkaran berkesinambungan, yang makin lama makin besar pengaruhnya pada kehidupan.
Baca Juga: Berkaca dari Raihaanun, Menikah dengan Penderita Bipolar Rentan Perselingkuhan?
Karena sifat positifnya tadi, yang lalu membuat kita ingin mengalaminya lagi, dan lagi.
Bagaimana kalau Jeng Cempaka me[1]nerapkan ini dan mulai lagi mengajak suami untuk kembali membangun kebiasaan mengelola bipolarnya dengan lebih disiplin?
Tunjukkan apresiasi kalau ia taati prosedur yang disarankan dokter?
Titik-titik penting untuk memperbaiki hubungan dengan suami, memang tak lepas dari pengendalian bipolarnya ya sayangku, maka jangan kesampingkan ini.
Ke dokter, dengarkan nasihatnya dan jalankan apa yang diberikan.
Tentu saja, Mas T dan Anda perlu saling menguatkan motivasi untuk mengatasi dan mengelola bipolar ini bersama.
Di sisi Anda, pasti akan banyak sekali kesabaran, pengendalian diri saat ia sedang kumat (maaf, saya tidak bermaksud kasar memakai kata kumat).
Dan karena antisipasi serta pence[1]gahan selalu berdampak baik, bagaimana kalau Anda rajin mencari tahu, paling baik adalah bertanya pada psikiater yang menangani Mas T.
Faktor pencetus apa yang harus ditenggarai seksama, agar sedapat mungkin dihindari.
Yang berikut, jangan diam di zona Anda sekarang ini.
Selalu mencoba membuat situasi yang ada sebagai tantangan untuk bersikap dan bertindak lebih efektif lagi.
Agar bisa menghasilkan dampak yang lebih positif pada kehidupan Anda dan Mas T.
Apa boleh buat, nampaknya memang sudah tak perlu dipertanyakan lagi, Andalah yang harus lebih banyak berinisiatif me[1]lakukan ini semua, sambil tak lupa meng[1]gandeng tangan suami, menapaki kebaikan dan keindahan perkawinan.
Di atas semua ini, sebenarnya Anda selalu harus berusaha jujur pada diri sendiri, menjawab pertanyaan, benarkah memang Anda ingin menghabiskan sisa usia bersama Mas T?
Siapkah Anda berdampingan dengan se[1]seorang yang akan butuh perawatan seumur hidupnya?
Kuatkah Aanda membantunya untuk selalu membuatnya berada dalam situasi kondusif agar bisa terus berkarya, berkesenian sambil menumbuhkan juga rasa tanggung jawab dan cinta pada Anda?
Bila jawabannya lebih banyak ya, ya dan ya, bukankah perkawinan ini layak diper[1]tahankan?
Ayo Jeng Cempaka, kalau untuk kawin kita butuh mengintensifkan emosi cinta, maka untuk mempertahankannya, cinta adalah bumbu penyedap hidup.
Dan penalaranlah yang harus dikede[1]pankan dan tetap dipelihara agar kita selalu bisa melihat masalah dengan jernih, memakai logika dan sistematika berpikir yang baik untuk bisa membuat keputusan-keputusan penting dalam hidup.
Sekaligus menyikapi bahwa dibalik masalah, ada tantangan untuk mencari solusi konstruktif untuk hidup Anda berdua. (*)
Penulis | : | Rieny Hassan |
Editor | : | Maria Ermilinda Hayon |
KOMENTAR