TabloidNova.com - Satu lagi kuliner yang menjadi jujugan banyak orang di tengah malam sampai dini hari adalah Bubur Ayam Bang Dudung di Jalan Kedungdoro, Surabaya. Kendati baru buka pukul 00.00, nyatanya tak mengurangi minat pembeli. Yang datang pun tidak hanya mereka yang habis hang out menikmati suasana Surabaya di malam hari, tapi juga mereka yang datang dari rumah masing-masing, sengaja ingin menikmati semangkuk bubur Bang Dudung.
Padahal, lokasi dan bentuk gerobak Bang Dudung sangat sederhana. Gerobak bubur mangkal di depan gedung bank, sementara pembeli disediakan beberapa meja dan kursi di teras toko yang sudah tutup.
Karena jumlah meja-kursi kerap tak sepadan dengan peminatnya, sebagian besar pembeli rela melahap bubur sambil lesehan di bahu jalan atau di dalam mobil masing-masing.
"Kami tadi sudah tidur di kos masing-masing, tapi begitu menjelang jam 12 malam bangun dan ramai-ramai naik motor ke sini," kata Santi (21), seorang mahasiswi Unair.
Menurut gadis asal Tulungagung tersebut, dia dan teman-temannya senang menikmati bubur Bang Dudung karena rasanya yang lezat. "Selain lezat, antrenya yang desak-desakan juga memberi sensasi tersendiri," kata gadis cantik tersebut sambil tertawa.
Si empunya gerobak bubur, Pak Dudung, sebenarnya sudah meninggal tahun 2013 lalu. Kini, usaha ini dilanjutkan oleh Dani (30), putra Dudung. "Bapak mendirikan usaha ini sejak tahun 2000-an," kisah Dani saat ditemui di rumahnya yang terletak tak jauh dari tempat berjualan.
Dani sendiri baru ikut membantu sang ayah berjualan di tahun 2010. Sebelumnya, sebut Dani, ia memiliki usaha las pagar rumah di Bogor, Jawa Barat. Empat tahun yang lalu, Dani diajari langsung oleh Dudung bagaimana membuat bubur ayam yang enak.
Rasa bubur buatan Dudung memang berbeda dengan bubur ayam pada umumnya di Surabaya, karena Dudung membuat buburnya khas Ciamis, tanah kelahirannya. "Ada beberapa resep yang berbeda," ujar Dani tanpa mau mengungkap apa resep rahasianya.
Setelah ayahnya meninggal Dani mengaku sempat menitipkan jualan kepada orang kepercayaannya. "Tapi malah menurun penjualannya." Penyebabnya, bubur yang tak habis dijual seringkali dijual kembali esok harinya. Setelah Dani mengambil alih, "Saya bikin aturan, bubur yang tidak habis harus dibuang, jadi adonan harus baru tiap hari. Sejak itu omzet kembali naik."
Selain enak, buburnya juga dihargai relatif terjangkau, hanya Rp 10.000 saja. Untuk bubur istimewa dengan telur dan ampela, harganya Rp 13.000. Di hari-hari biasa, Dani biasa mengabiskan sekitar 10 kilogram beras dan 250 butir telur. Namun jika akhir pekan atau di hari libur, "Bisa mencapai 15 kilogram beras dan 300 butir telur."
Gandhi Wasono M.
KOMENTAR