Benarkah suami-istri harus selalu jujur? Bagaimana jika kejujuran malah bikin runyam perkawinan lantaran pasangan sakit hati?
Hampir bisa dipastikan, tak ada perkawinan yang bersih dari kebohongan. Ada segudang alasan yang membikin suami atau istri berbohong. Banyak suami/istri yang tak ingin pasangannya ikut campur dalam urusan pekerjaan di kantor, lantas berbohong. Entah lantaran tak ingin membuat pasangannya ikut-ikutan pusing atau karena ia tak yakin pasangannya memang bisa membantu. Maka ketika ditanya, "Kenapa, kok, lesu sekali? Ada masalah, ya, di kantor?", jawabnya, "Ah, enggak apa-apa, kok. Cuma agak pusing."
Alasan lain dari kebohongan ialah tak ingin menyakiti pasangan. Misalnya, suami membeli martabak telor kesukaan istrinya karena ingin menyenangkan sang istri. Tapi ternyata matabak telornya kurang enak karena bukan dibeli di penjual langganan. Masak si istri harus mengatakan yang sebenarnya? Kasihan, dong, pada sang suami yang sudah seharian bekerja tapi masih mau menyempatkan diri membeli makanan kedoyanan istrinya.
Tak jarang kebohongan dilakukan pula dalam upaya menghindari konflik yang dapat mengancam keutuhan perkawinan. Suami/istri tak sengaja ketemu mantan pacar lalu makan siang bersama, tapi ia tak berterus terang pada pasangannya. Bilangnya, "O, saya lagi makan siang dengan teman sekantor," waktu pasangannya tanya, "Kamu ke mana, kok, tadi siang saya telepon ke kantor enggak ada." Apalagi kalau jelas-jelas berselingkuh. Pasti tak bakalan berani jujur. Bisa runyam!
STRATEGI REKONSILIASI
Tampaknya perkawinan memang tak bisa dilepaskan dari kebohongan. Hal ini diakui psikolog Darmanto Jatman, "Dalam setiap perkawinan, pasti pernah terjadi kebohongan." Bahkan, tambah staf pengajar jurusan psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro di Semarang ini, "Suami dan istri punya hak untuk berbohong. Sebab, masing-masing memiliki ruang-ruang rahasia."
Menurutnya, kebohongan adalah suatu strategi rekonsiliasi yang dimunculkan daripada harus berbenturan dengan keinginan keluarga atau masyarakat. Di satu sisi, setiap orang mempunyai ruang publik dan ruang pribadi sehingga ada hal-hal yang perlu dirahasiakan. Di sisi lain, masyarakat menekankan adanya doktrin bahwa dalam suatu keluarga harus ada keterbukaan satu sama lain dan tak ada rahasia.
Lantaran itulah Darmanto minta, kita jangan bersikap prejudice dulu terhadap kebohongan dalam perkawinan. "Bohong adalah upaya manusia untuk menyimpan rahasia pribadi, agar setiap orang punya ruang pribadi." Apalagi kebohongan juga punya tujuan, yakni integrasi individu di dalam kelompok. "Nah, kalau dengan berbohong maka persatuan dan kesatuan keluarga tak jadi terancam, mengapa kita tak boleh berbohong?"
Misalnya, seorang suami yang mempunyai istri pemboros, secara diam-diam menyimpan uang gajinya untuk masa depan anak-anaknya. Gaji yang dibawa pulang tinggal 80 persen. Kalau istrinya tanya, "Lo, kok, gajinya tinggal segini?", jawabnya, "Oh, dipotong untuk cicilan asuransi, sumbangan duka cita, dan sebagainya." Si suami memilih berbohong daripada mengatakan, "Habis, kamu pemboros, sih. Makanya cuma saya kasih segitu." Bisa ditebak, kalau si suami bicara jujur, istri bakal "meledak".
Kebohongan ini, kata Darmanto, adalah bagian dari suro sembodo,tanggung jawab, keharusan untuk menyelamatkan anak-anak dan muka istri. "Berbohong strategis model ini malah bisa memperkuat perkawinan." Dalam falsafah Jawa, lanjutnya, ada istilah jogo projo,mikul dhuwur mendhem jero. "Jadi, ada 'kekurangan' yang harus ditutupi supaya praja di dalam harga diri dan rumah tangga tetap terjaga. Nah, jalan tengah yang diambil, ya, berbohong."
Lain halnya bila kebohongan dilakukan dengan tujuan menipu pasangan atau menyelamatkan diri sendiri, terang pria yang juga dikenal sebagai penyair dan sosiolog ini. "Kalau yang ini, jelas saya tak setuju!" Misalnya suami menghambur-hamburkan uang untuk berselingkuh dengan wanita lain, tapi dibilangnya untuk keperluan anak. "Itu, kan, manipulatif sekali!"
TIDAK ABADI
Kendati demikian, Darmanto mengingatkan, sebelum berbohong atau sekiranya harus berbohong, harus dipikirkan tenggang waktunya. Maksudnya, sampai kapan suami/istri akan mempertahankan kebohongan itu? Karena, "Tak ada kebohongan yang dibawa sampai mati. Suatu saat suami/istri harus siap mengungkapkan kebohongannya. Namanya juga strategi. Jadi, bohong itu part of the game. Dan yang namanya game, pasti ada rule-nya, aturannya."
Hal lain yang harus dipikirkan adalah konsekuensi dari kebohongan. Apalagi jika pasangan sampai keburu tahu bahwa ia dibohongi. Bisa celaka, kan! Siapa sih, yang enggak bakalan sakit hati kalau tahu dibohongi? Reaksi yang muncul dari pasangan biasanya negatif. Apalagi kalau pasangan tak berpikiran matang dan pemaaf. Bisa-bisa bukannya didapat penyelesaian yang baik, melainkan konflik berkepanjangan lantaran pasangan sudah berkurang kepercayaannya. Jika ini terjadi, bisa lama, lo, pulihnya.
Jangan lupa, reaksi pasangan biasanya dipengaruhi oleh kerangka berpikirnya tentang kebohongan. Nah, ini bisa terjadi kerangka suami dan istri tentang kebohongan itu berbeda. "Apalagi jika komunikasi selama ini macet sehingga strategi tak pernah bisa disepakati," kata Darmanto. Tapi apa pun juga, lanjutnya, yang perlu dipikirkan oleh pasangan ialah kewajiban-kewajiban moril yang lebih tinggi. Maksudnya, memang sih, sakit hati karena telah dibohongi. Tetapi, kan, ada anak-anak dan rumah tangga yang perlu diselamatkan.
Bagi suami/istri yang mau berbohonhg, Darmanto, minta, bertanyalah dulu pada diri sendiri,"Apa,ya, pantas atau tidak kita berbohong pada pasangan?". Kalau sekiranya pantas dan bisa mempertanggungjawabkannya,termasuk menanggung resiko yang mungkin timbul, "Ya, silahkan, saja. Tapi kalau tidak, ya, jangan berbohong!"
DITIRU ANAK
Satu hal yang juga harus menjadi perhatia ialah dampak kebohongan suami/istri terhadap anak. Karena menurut Darmanto, bisa membahayakan anak."Apalagi jika terjadi penyalahgunaan kebohongan untuk diri sendiri. Semacam egosentris. Bohong kepada pasangan dengan cara memanipulasi anak." Misalnya, soal uang. Bilangnya buat keperluan anak, tapi ternyata buat selingkuh. Pas anaknya ditanyai, jawabnya,'lo, saya tidak menerima apa-apa,kok'.
Jelas, ini amat berbahaya untuk perkembangan si anak. Ia jadi menilai, "Oh, Bapak dan Ibu saling berbohong." Mudah baginya kelak meniru tingkah laku bohong orang tuanya. Soalnya, anak-anak tak tahu bahwa bohong adalah strategi orang tuanya, maka ia bisa mengidentifikasikan nilai-nilai bohong dengan cara mereproduksinya. "Akan jelek sekali dampaknya pada anak. Anak-anak bisa mengimitasi perilaku, tapi tak bisa memahami makna. Bisa dibayangkan, bukan, akibatnya?"
Karena itu, anjurnya, orang tua harus menerangkan kepada si anak, mengapa ayah-ibunya sampai berbohong. "Anak harus diberi frame, kerangka yang jelas tentang bentuk yang bernama bohong itu. Bahwa bohong bisa karena suatu sikap melindungi, menjaga atau bagian dari strategi." Kalau tidak, sangat mungkin si kecil tumbuh menjadi anak yang suka berbohong.
Jika anak masih balita, Darmanto menganjurkan sebaiknya jika ayah/ibu harus berbohong, maka benar-benar menjalankan strategi bohong ini dengan hati-hati dan rapi. "Jangan sampai anak mengendus bahwa ayah-ibunya saling berbohong. Bukan apa-apa. Menjelaskannya akan sulit pada anak-anak. Padahal, tanpa penjelasan, mereka akan gampang saja meniru."
Pada akhirnya Darmanto menegaskan, kejujuran tetaplah yang utama dalam perkawinan. Tapi kebohongan juga tak selalu jelek. "Ada yang bisa diselamatkan bila kita berbohong at the right time. Tapi ada juga kehancuran yang terjadi karena kejujuran diungkapkan pada saat yang salah." Misalnya pada kasus selingkuh. Menurutnya, banyak sekali istri yang mengharapkan suaminya bohong saja, ketimbang menyampaikan sesuatu yang jujur tapi malah menyakiti, menghancurkan hati, atau rumah tangga.
Satu lagi pesan psikolog ini, "Jangan percaya bahwa setiap orang jujur!" Nah, dengan menyadari hal itu, kita jadi lega dalam menjalankan hidup berumah tangga.
Santi Hartono/nakita
KOMENTAR