Padahal, lanjutnya, akan lebih baik jika anak hidup dengan ibu atau ayahnya saja tapi lebih tenang ketimbang hidup bersama ayah dan ibu yang setiap hari selalu bertengkar.
Belum lagi jika salah satu pihak menjadi agresif karena saking emosionalnya, misalnya memukul atau melempar barang saat bertengkar.
"Nah, mengapa tidak berpisah saja? Siapa tahu, setelah berpisah, ayah atau ibu justru akan menjadi baik," ujar Jeanette yang justru melihat hal ini sebagai sisi positif menjadi orang tua tunggal.
Baca Juga : Begini Aktivitas Rizky Febian Pasca Perceraian Orang Tuanya!
Pakar psikologi Dr. A. Joseph Bursteln, dalam bukunya yang sudah dialihbahasa Petunjuk Lengkap Mendidik Anak, mengatakan, "Anak-anak kerap kali lebih bahagia jika dibesarkan oleh seorang dewasa yang stabil, matang, bisa diandalkan, hangat dan mantap; daripada kalau dibesarkan oleh dua orang tua yang tak bahagia, yang setiap hari membuat kalut dan trauma anak-anaknya dengan pertengkaran terus-menerus."
Menjelek-jelekkan mantan suami di depan anak juga tak perlu dilakukan.
"Bagaimanapun mantan suami adalah ayah dari anaknya. Kalau dijelek-jelekkan, lantas bagaimana anak bisa melihat figur seorang ayah," kata Jeanette.
Akan lebih baik jika istri bisa menyelesaikan sendiri masalahnya dengan mantan suami tanpa harus mengikut sertakan anak.
Baca Juga : Inspiratif! Ingin Kurangi Kasus Perceraian di Surabaya, Begini yang Dilakukan oleh Pemkot Surabaya
"Jadi, anak sebaiknya di luar masalah orang tua," tukas psikolog yang juga berpraktek di RS Ongkomulyo, Jakarta ini.
Jeanette juga melihat perlunya masalah perceraian dijelaskan kepada anak.
"Tentu harus disesuaikan dengan usia anak. Anak pasti, kan, bertanya-tanya, misalnya ketika ayahnya enggak lagi tinggal bersamanya. Apalagi balita sekarang sudah pintar," tuturnya.
KOMENTAR